JA Kembali Ingatkan Jajaran Waspadai Corruptor Fight Back, Mulai dari Godaan Materil, Ancaman hingga Gugat UU Kejaksaan

Sebarkan:

 

 


Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin. (MOL/Ist)



JAKARTA | Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin kembali mengingatkan jajarannya baik di Pusat maupun Daerah agar bekerja profesional guna mengantisipasi perlawanan balik mereka yang tersandung kasus / perkara korupsi, populer disebut: Corruptor Fight Back (CFB).


Nada warning tersebut disampaikan JA melalui Kapuspenkum Kejagung RI Dr Ketut Sumedana dalam pers rilisnya yang diterima, Minggu (13/5/2023).


Menurut JA, berbagai bentuk CFB yang perlu diwaspadai tersebut bukan hanya berupa godaan materil, imateril, maupun ancaman fisik. Tapi juga melakukan gugatan uji materiil UU Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).


Juru Bicara Kejagung RI itu menambahkan, pada berbagai kesempatan JA selalu mengimbau seluruh jajaran kejaksaan bahwa dalam penanganan perkara korupsi baik di Pusat dan Daerah agar dilakukan secara objektif, transparan, berkesinambungan, serta yang paling terpenting tidak tebang pilih dan konsisten. 


Meski demikian. apapun yang dilakukan oleh kejaksaan tidak jarang berdampak pada psikologi ataupun ketidaksukaan terhadap institusi, sehingga dengan berbagai cara. Mereka yang tersandung kasus / perkara korupsi akan memainkan perannya seperti memberikan godaan materiil dan immateriil, bahkan dengan ancaman fisik.


Tak hanya itu, cara lain yang sedang gencar dilakukan oleh para koruptor adalah menggugat kewenangan Aparat Penegak Hukum (APH) seperti uji materiil UU Kejaksaan terkait kewenangan penyidikan termasuk kewenangan lain yang sangat substansial dari segi penegakan hukum. 


Gugatan atas kewenangan penyidikan kejaksaan sudah berulang kali dilakukan. Penggugat melupakan kapasitas jaksa terhadap kewenangannya dalam tindak pidana korupsi, demikian halnya kewenangan yang sama melekat pada UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)


Demikian juga gugatan uji materil terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), serta UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 


Demikian halnya kewenangan kejaksaan dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.


Kejaksaan memiliki kewenangan sebagai penyidik. Kejaksaan telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan perkara mega korupsi, salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada 1998 silam. 


Maka jika dikaitkan dengan diferensiasi fungsional, sangat tidak sesuai dan bahkan KPK sebagai lembaga yang memiliki penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan eksekusi, berada dalam satu atap sebagai wujud reformasi penegakan hukum. 


Selanjutnya, ketika gugatan tersebut berbicara mengenai diferensiasi fungsional, maka sebagaimana diatur dalam KUHAPidana yaitu pemisahan kewenangan di masing-masing lembaga seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.


Hal ini menjadi persoalan obscuur libel alias mengaburkan fungsi sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang memiliki fungsi koordinasi, sinergitas, dan kolaboratif. Gugatan-gugatan tersebut sudah keluar dari konteks penegakan hukum modern dan mencederai konstitusi.


Yakni yang tidak ada satu lembaga pun memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk Jaksa sebagai dominus litis yakni pengendali perkara, serta masih mempunyai fungsi koordinasi dengan penyidik dan pengawasan dengan pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan. 


Adapun tugas dan kewenangan Kejaksaan yakni penanganan perkara mulai dari hulu sampai ke hilir, serta memastikan penyidikan dari berbagai institusi berjalan baik, sehingga menghasilkan penuntutan dan proses pembuktian yang baik pula. 


Bahkan dalam proses upaya hukum biasa sampai luar biasa, akan menjadi tanggung jawab Kejaksaan selaku Penuntut Umum dan Jaksa, hingga eksekusi terhadap putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht). 


Oleh karenanya, terjadi kekeliruan dengan menempatkan proses penyidikan berdasarkan diferensiasi fungsional yang justru hanya mengkotak-kotakan fungsi masing-masing lembaga, dan menjauhkan sinergitas serta kolaborasi dalam penanganan perkara. 


Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya bolak-balik perkara, menimbulkan ketidakpastian penegakan hukum, dan bahkan manfaat penegakan hukum tidak dirasakan oleh masyarakat.


Apabila gugatan untuk melemahkan Aparat Penegak Hukum tersebut dikabulkan, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat Kejaksaan dalam penanganan perkara mega korupsi yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah seperti PT Asuransi Jiwasraya.


Selanjutnya perkara korupsi di PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya, impor garam, impor tekstil, dan lain sebagainya. 


"Maka inilah yang harus disuarakan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri," pungkasnya. (ROBERTS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini