Prof Dr Jamin Ginting saat dimintai pendapatnya sebagai ahli hukum pidana di PN Medan. (MOL/ROBERTS)
MEDAN | Giliran Prof Dr Jamin Ginting, guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan dihadirkan, Rabu (16/4/2025) dihadirkan pemohon praperadilan (prapid), Rahmadi melalui tim kuasa hukumnya dimotori Suhardi Umar Tarigan di Cakra 5 PN Medan.
Menurut ahli hukum pidana tersebut, sesuai hukum acara pidana, penyidik Kanit 1 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Sumut Kompol Dedy Kurniawan dan kawan-kawan (dkk), seharusnya gelar perkara dulu, sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
“Dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) tertanggal 3 Maret 2024 disebutkan klien kami (Rahmadi) sebagai tersangka. Sementara setelah gelar perkara, keluar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dari Polda Sumut tertanggal 6 Maret 2024, klien kami juga ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimana pendapat saudara sebagai ahli,” cecar Suhardi Umar Tarigan.
Hakim tunggal Cipto Hosari Nababan pun meminta kuasa hukum pemohon, ahli dan tim kuasa hukum termohon dari Bidang Hukum (Bidkum) Polda Sumut mendekati meja hakim untuk melihat langsung kedua alat bukti surat tersebut.
“Dalam KUHPidana disebutkan, syarat untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka, minimal dengan dua alat bukti. Hal itu juga dipertegas lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21 Tahun 2014.
Dia (seseorang) harus pernah diperiksa sebagai calon tersangka dan harus lebih dulu dilakukan gelar perkara. Bila tak terpenuhi maka penetapan tersangkanya tidak sah,” urainya.
Di bagian lain ahli berpendapat, aparat penegak hukum (APH) idealnya seragam memaknai KUHAPidana. “Hukum acara pidana itu rigid (statis). Satu nafas dia. Gak perlu dimaknai macam-macam. Minimal ada dua alat bukti. Bukan barang bukti. Bukti surat, saksi-saksi atau ahli.
Barang bukti bisa saja bukan terkait dengan kasus seseorang dijadikan tersangka. Harus pernah diperiksa sebagai calon tersangka, gelar perkara kemudian ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Prof Dr Jamin Ginting.
Demikian halnya dengan SPDP, sambungnya, penyidik gak perlu burur-buru menjadikan seseorang sebagai tersangka. Sebab SPDP hanya sebatas adminstrasi pemberitahuan kepada penuntut umum, kasusnya sedang diselidiki ataupun proses penyidikan.
Dipaksakan
Saat dicecar tim kuasa hukum termohon, ahli sempat terdiam beberapa saat dan tersenyum. Sebab alat bukti yang disampaikan kuasa hukum termohon, penangkapan tersangka, penahanan, penggeledahan, penimbangan barang bukti serta pemeriksaan laboratorium, di tanggal yang sama dan jam serta menit yakni 23.30 WIB.
“Bagaimana mungkin bisa dibuat di hari, jam dan menit yang sama? Waktu kan terus berjalan. Penangkapan, penggeledahan sampai menimbang barang bukti itu kan memakan waktu. Menurut Saya, penanganan kasusnya dipaksakan,” timpal ahli.
Dalam gugatan tersebut, Presiden RI cq Kapolri cq Kapolda Sumut cq Diresnarkoba Polda Sumut cq penyidik Kompol Dedy Kurniawan dijadikan sebagai termohon prapid.
Pemohon menilai penangkapan terhadap kliennya diduga sarat dengan intimidasi dari termohon, menyusul beredarnya rekaman viral di media sosial (medsos), ada tindakan penhaniayaan. Penyidik pembantu pada Reskrim Polda Sumut juga dinilai tidak menghormati hak-hak advokat. Setelah dilaporkan ke Bid Propam Polda Sumut, baru turunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap kliennya diberikan. Itu pun via jasa pos. (ROBERTS)