MEDAN | Periode perubahan struktur kependudukan Indonesia
menjadi lebih produktif--yang sering disebut bonus demografi--harus disikapi
dengan perencanaan strategis. Inilah pembahasan seminar daring yang diinisiasi
Be Plus organizer yang mengundang salah satu tokoh nasional, Ir. Sarwono
Kusumaatmadja.
Tokoh nasional ini menjadi narasumber dalam webinar
tanggal 5 September 2020 yang mengangkat tema besar terobosan dan gagasan
menggenjot ekonomi. Seperti diketahui, dia pernah menjabat 3 kali menjadi
menteri dan saat ini menjabat sebagai ketua dewan pertimbangan pengendalian
perubahan iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sarwono dalam kesempatan baik tersebut, memaparkan,
Indonesia hari ini dan masa depan menghadapi tiga masalah besar. Yakni resiko
krisis pangan, pengangguran, dan kesehatan masyarakat. Karena itu, bonus
demografi harus dimanfaatkan dengan menggenjot tiga sektor prioritas, yakni
pendidikan dan latihan, ketahanan pangan, air, dan energi dan terakhir
kesehatan masyarakat, selain kesehatan kuratif.
Sarwono Kusumaatmadja menjelaskan, memang perlu tindakan
korektif untuk mengatasi terhambatnya proses pendidikan akibat pandemi.
Sekaligus juga memerlukan program pengembangan untuk menciptakan tenaga kerja
yang punya etos kerja baik, berkualitas, inovatif, tahan uji, dan fasih digital.
Terkait dengan pangan air dan energi perlu dikembangkan
gagasan Lokavora, ekonomi sirkuler, pertanian kota, permakultur, agroekologi,
agritektur. Di masa depan, tren baru di bidang pertanian ditandai oleh
pertanian hemat lahan dengan produktivitas tinggi sekaligus pendekatan multikultur,
alami atau organik. Dibutuhkan juga konservasi dan tata kelola air baik di
tingkat operasional maupun strategis. Transisi dari energi ke fosil perlu
dikelola dengan konsisten dan taat asas.
“Terkait dengan kesehatan masyarakat yang disebut sebagai
kesehatan preventif dan promotif, sekiranya program kesehatan masyarakat
berjalan baik maka kesehatan kuratif bisa difokuskan untuk menangani
masalah-masalah kesehatan yang tidak dapat diatasi dengan program kesehatan
masyarakat,” katanya.
Sarwono juga memaparkan, karakter demografi Indonesia ---lazim
disebut bonus demografi-- yang sedang berlangsung saat ini sampai dengan tahun
2030-an, merupakan peluang yang hanya dinikmati oleh Indonesia di Asia Pasifik.
Negara-negara lain sudah melampaui fase itu dan saat ini sedang mengalami
proses penuaan populasi.
“Peluang demografi kita juga memberikan kesempatan tenaga
kerja Indonesia berperan di luar negeri, tentunya dengan persiapan yang matang
dan dengan kebijakan perlindungan ketenagakerjaan yang bagus,” paparnya.
Akan tetapi, lanjutnya, perlu diingat, bahwa bonus
demografi adalah pedang bermata dua. Kita hanya mendapat bonus apabila
persiapan menyambut peluang masa depan kita gunakan sebaik-baiknya. Jika kita
lalai, yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik.
Dalam webminar tersebut juga mengundang salah satu
praktisi pendidikan, Dr. Aldon MHP Sinaga yang juga selaku sekretaris
politeknik Wilmar Bisnis Indonesia. Dia dengan lugas memaparkan pertanian perlu
dikenalkan sejak dini dari sekolah menengah hingga ke taman kanank-kanak dari
sekarang.
“Mengapa? Karena sebenarnya profesi petani adalah
pekerjaan mulia untuk menolong bangsa kita mempersiapkan pangan. Mindset
seperti inilah yang perlu ditanamkan. Jendela puncak bonus demografi Indonesia
yaitu pada tahun 2035 masih cukup lama, sehingga perlu dipersiapkan dari
sekarang,” ujarnya.
Menjawab pertanyaan salah satu peserta seminar, Aldon
juga menjelaskan bagaimana generasi muda harus menguasai teknologi terkait
pertanian. Tujuannya agar anak muda Indonesia menguasai pasar lokal terlebih
dahulu. Apalagi dunia usaha sekarang juga semakin menantang yang sering
bergejolak, tidak pasti, kompleks, dan tidak jelas yang sering di sebut dengan
Vuca ( volatile, uncertain, complex, ambigue).
Seminar daring ini juga mengundang seorang pembicara
milenial, Bery Manurung. Sebagai ketua peduli bonus demogafi, penulis dan
sekaligus pegiat teknologi, ini memaparkan bagaimana peluang gigantis bonus
demografi Indonesia jika dimamfaatkan optimal oleh pemerintah.
Bery menjelaskan, bonus demografi Indonesia harus mampu
mencetak tenaga terampil 113 juta jiwa. Berdasarkan riset Mckinsey, jika itu
mampu diwujudkan, maka proyeksi Indonesia menjadi kekuatan nomor 7 dunia.
“Peluang itu semakin besar, mengingat beberapa negara
seperti Jepang dan Korea justru mengalami usia menua atau tidak lagi produktif
yang cukup besar. Salah solusi yang digagas adalah menggenjot lulusan vokasi
agar memiliki daya saing dan mampu diserap bursa kerja di berbagai sektor
industri,” ujarnya.
Bery juga dalam kesempatan tersebut mengajak pihak-pihak
terkait untuk berkolaborasi untuk sosialisasi, edukasi dan advokasi isu bonus
demografi dengan membangun komunitas di tiap daerah agar isu bonus demografi dipahami
potensinya sehingga tidak hanya sekedar menjadi istilah keren tapi minim
realisasi kebijakan pemerintah daerah. “Jika tidak ada kebijakan yang
aplikatif, bukan tidak mungkin bonus demografi justru menjadi bencana demografi
bagi bangsa kita,” tutupnya.(rel)