Dinilai Tak Adil, Masyarakat Adat Sigapiton Tolak Kesepakatan dengan BPODT

Sebarkan:
TOBASA - Masyarakat adat Sigapiton, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) menolak kesepakatan dengan Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT).

Direktur Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi menilai, kesepakatan yang dibuat pasca bentrokan yang terjadi antara masyarakat adat Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Sumatera Utara itu tidak adil.

"Tidak benar berita yang menyebut sudah adanya kesepakatan antara pihak Masyarakat Adat Bius Raja Naopat-Sigapiton dengan BPODT," ujar Delima sesuai rilis yang diterima wartawan, Selasa (17/9/2019).

Menurutnya, masyarakat adat Bius Raja Naopat menyatakan dengan tegas menolak kesepakatan pada rapat yang dilaksanakan, Senin, 16 Mei 2019.

"Sebagaimana disampaikan masyarakat dalam rapat yang dihadiri KSPPM (RP dan RHC), poin-poin kesepakatan yang tertera dalam lembar kesepakatan selain mengecewakan juga sarat keganjilan," ungkapnya
Dijelaskan Delima, awalnya sebagaimana dijanjikan oleh Kapolres kepada masyarakat pada Jumat, 13 September bahwa pada Minggu, 15 September akan diadakan mediasi untuk mencari solusi yang terbaik buat semua pihak.

"Namun menurut masyarakat adat, justru poin kesepakatan itu sama sekali tidak menampung apa yang menjadi tuntutan masyarakat. Masyarakat adat juga membantah bahwa sudah terjadi kesepakatan seperti yang diberitakan," katanya.

Karena pada penandatanganan kesepakatan, lanjut Delima, tiga marga Raja Bius tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut. Kesepakatan hanya ditandatangani oleh satu marga bius. Sedangkan tiga marga Raja Bius lainnya, Sirait, Manurung, dan Nadapdap dengan tegas menolak menandatanganinya.

Adapun alasan mereka tidak menandatangani, pertama, poin-poin tuntutan yang disampaikan masyarakat tidak ditampung dalam poin kesepakatan akhir yang berisi bahwa setiap pembangunan yang akan dilaksanakan di wilayah adat mereka harus terlebih dahulu didiskusikan dan mendapat persetujuan dari masyarakat adat Sigapiton.

Kedua, kekuatan para pihak sangat timpang. Di satu sisi pihak BPODT didampingi oleh Kapolres, Bupati, Sekda dan camat. Sementara masyarakat dipaksa berunding tanpa melibatkan lembaga pendamping yang dirasa lebih memahami hukum perundang-undangan dan konsekuensi dari setiap poin kesepakatan.

Ketiga, waktu negosiasi yang dipaksakan harus selesai dan sampai malam membuat masyarakat adat tidak lagi bisa konsentrasi. Di samping itu membatasi keterlibatan kaum perempuan karena waktu yang sampai larut malam, sementara transportasi ke desa sangat terbatas.

Keempat, butir-butir kesepakatan yang tidak tepat, seperti penyebutan “lahan otorita” yang tidak pernah mereka sepakati.

"Empat alasan itu menjadi dasar bagi tiga Marga Bius lainnya menolak menandatangani kesepakatan tersebut. Sehingga BPODT telah melakukan kebohongan besar menyatakan bahwa sudah ada kesepakatan," ucap Delima. (Ril)
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar