Menjelang Pergantian Bupati, Ini Kata Penggiat Budaya Tentang Pemimpin Langkat

Sebarkan:

Langkat - Rabu (20/2/19), berakhir sudah masa bakti H. Ngogesa Sitepu, S.H. sebagai Bupati Langkat Ke-9. Dia akan menyerahkan estafet kepemimpinan yang sepuluh tahun berada di genggamannya kepada Terbit Rencana PA, peraih suara terbanyak pada Pilkada Langkat 2018. Adakah riak sosial di Negeri Bertuah?

Lewat akun Facebooknya, Tengku Zainuddin sudah menyinggung soal peralihan kekuasaan di kabupaten yang peradabannya sudah mendunia sejak Kerajaan Aru masih berdaulat itu. Tengku, demikian pegiat budaya ini akrab disapa, menyematkan untaian kalimat satire di linimasa media sosialnya untuk menggambarkan realita masa lalu dan idealita yang diidamkan rakyat jelata pasca peralihan kekuasaan.

“Sebentar lagi, lagunya Mbah Surip tidak berlaku lagi di Bumi Langkat: Tak Gendong Kemana-mana. Pasalnya, yang digendong akan segera dilantik untuk menduduki jabatannya,” tulisnya, akhir pekan kemarin.

Sontak, sematan bergaya Melayu di linimasa Facebook Tengku Zainuddin itu ramai ditanggapi netizen, termasuk yang dalam keseharian berprofesi sebagai jurnalis dan politisi di Langkat. Adalah H. Imam Fauzi dan Darwis, jurnalis dimaksud. Sementara, sang politisi adalah H. Ahmad Ghazali Syam.

Tanggapan-tanggapan yang muncul mulanya berupa penafsiran. Sebagian menyebut sematan Tengku Zainuddin itu sarat akan pesan-pesan budaya. Nah, untuk tidak menimbulkan persepsi yang melenceng, sejumlah jurnalis menghubungi Tengku Zainuddin, khususnya menyangkut kalimat, ”Mengayun atau menggendong, kalau di budaya masyarakat Langkat, ada tata cara dan syarat-syaratnya. Begitu pula saat lepas dari gendongan, namanya turun tanah, ada juga tata cara dan syarat-syaratnya.”

Ditemui di Stabat, ibukota Kabupaten Langkat, Senin (18/2/19), Tengku Zainuddin mengungkap dirinya menulis sematan soal pergantian bupati di linimasa Facebooknya tak lain untuk menyuarakan kecemasan arus bawah. Jika Kabupaten Langkat diibaratkan sebuah kapal, maka sang bupati adalah nakhoda, yang di pundaknya dibebankan tanggungjawab untuk membawa kapal dan penumpangnya sampai pada tujuan.

“Bila nakhoda kurang paham, alamat kapal akan tenggelam. Ini bentuk keresahan di masyarakat yang tidak tersuarakan secara gamblang. Ibarat kata, keresahan itu bak api dalam sekam yang tak terlihat sebelum apinya mencapai sekam lapisan teratas. Artinya, keresahan ini baru akan mencuat bila sudah terjadi kegaduhan,” ulasnya.

Menurut Tengku, tak mudah memimpin Langkat. Namun, masyarakat akan menerima dan patuh terhadap sosok pemimpin yang sekaligus mampu hadir sebagai tauladan di semua lapisan.

“Orang Langkat ini orang berbudaya, konsekuen dengan pilihannya. Bahkan, tatkala seseorang sudah dipilih menjadi pemimpin, maka akan diberi gelar ‘Datuk’ pertanda penghormatan, sebagaimana yang diterima oleh H. Syamsul Arifin, SE dan H. Ngogesa Sitepu, SH. Tetapi, itu tak bias dianggap sebagai sanjungan semata. Pemberian gelar itu lebih dimaksudkan sebagai pembebanan tanggungjawab terhadap budaya. Orang bergelar datuk tak boleh tercela!” serunya.

Tengku menambahkan, seseorang bergelar datuk harus menjadi suri tauladan. Jadi, harus siap meninggalkan segala hal yang tercela dalam sudut pandang kebudayaan.

“Sebab, pepatah lama mengatakan, ikan busuk itu dari kepalanya. Jadi, masyarakat tak mau dipandang busuk lantaran pemimpinnya tercela. Ini yang berat,” tukas Tengku, sembari mengingatkan bahwa di Langkat berlaku ketentuan yang oleh banyak orang disebut ‘rahasia Illahi’ seorang pimpinan, terlebih yang bergelar datuk, langsung kualat bila melakukan perbuatan tercela.

“Kita tak perlu sebut nama. Tapi, contohnya kan kita sudah sama tau. Ini sanksi yang langsung ditunjukkan di dunia. Ini nyata!” tutupnya. (hendra). 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini