![]() |
| Erwin Zaini, mantan Pimpinan Divisi Penyelamatan Kredit di Kantor Pusat Bank Sumut saat didengarkan keterangannya di Pengadilan Tipikor Medan. (MOL/ROBERTS) |
Pasalnya, dari bukti surat yang diperlihatkan tim JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) di hadapan majelis hakim diketuai As’ad Rahim Lubis, hasil analisa kredit yang dimohonkan debitur, Heri Ariandi (berkas penuntutan terpisah), hanya ditandatangani terdakwa Johanes Catur Surbakti (JCS), selaku eks Pelaksana Pimpinan Bank Sumut KCP) Melati Medan.
“Harusnya semua debitur kalian perlakukan sama. Tak ada tanda tangan dari analis dan wakil pelaksana pimpinan KCP kok bisa dicairkan kreditnya (ke debitur Heri Ariandi)?
Sudah berapa pejabat staf sama pegawai Bank Sumut dijadikan terdakwa di pengadilan tipikor ini?!” cecar As’ad didamping hakim anggota Eliyurita dan Rurita Ningrum.
Sebab menurut keterangan saksi yang dihadirkan JPU, Erwin Zaini, mantan Pimpinan Divisi Penyelamatan Kredit di Kantor Pusat Bank Sumut, verifikasi dokumen permohonan kredit calon debitur, harus ada tanda tangan 3 pihak. Yakni analis, wakil pimpinan dan terakhir pimpinan, dalam perkara a quo, terdakwa JCS.
“Sepengetahuan Saya Yang Mulia, harus ada tanda tangan ketiganya. Sekali pun misalnya analis kredit tidak setuju permohonan kredit dicairkan, tetap ditandatangani. Tentunya dengan catatan, tidak setuju,” urai saksi.
Menurutnya, di tahun 2013 maksimum pemberian kredit sebesar 80 persen dari nilai agunan, sebagaimana verifikasi bidang analis bank. Bukan harga pasaran. Analis akan menghimpun data pembanding. Berapa PBB, NJOP di sekitarnya, mencari informasi ke kantor kelurahan/desa dan seterusnya.
Permohonan kredit untuk pembelian aset, lanjut Erwin Zaini, harus ada uang muka. Sedangkan non-KPR, kewenangan maksimal ketika itu 400 juta. Bila di atas plafon, diteruskan ke Pimpinan Cabang.
Di bagian lain saksi menerangkan, aset berupa rumah kos-kosan, tidak jauh dari kampus Fakultas Kedokteran UISU tersebut, terlalu tinggi dari nilai aset sesungguhnya.
“Yang Mulia, memang pernah ada dilakukan jalan penyelesaian kredit macet ini tapi tidak ada titik temu. Format penyelesaian yang ditawarkan debitur, tidak bisa diterima Bank Sumut.
Akhirnya sampai pada kesimpulan, kasus (kredit macetnya) dilimpahkan ke Bidang Hukum Bank Sumut dan selanjutnya dilimpahkan ke aparat penegak hukum (APH),” tegas Erwin Zaini.
Temperatur persidangan kembali ‘memanas’ ketika terdakwa JCS dikonfrontir hakim ketua atas keterangan saksi tersebut. Menurutnya, dokumen persetujuan pencairan kredit kepada Heri Ariandi dia teken pada Februari 2013. Ketika terdakwa pindah tugas.
Sementara pada bukti surat diperlihatkan di persidangan tidak demikian. “Akad kredit di hadapan notaris tanggal 25 Januari 2013. Apa pun ceritanya, saudara di bulan Februari tidak bisa lagi bertindak sebagai pelaksana pimpinan.
“Kalau ada bukti saudara soal itu, tunjukkan biar majelis hakim pertimbangkan. Saya tanya kemudian, kenapa bisa kredit dicairkan cuma saudara saja yang bertanda tangan? Kalau dokumen lengkap, kenapa perkaranya berporses sampai ke pengadilan?!” cecar Asa’ad dan terdalwa JCS pun diam membisu.
Hadirkan Notaris
Di bagian lain, hakim ketua memerintahkan tim JPU agar menghadirkan notaris, Rima Agustina MKn, pada persidangan pekan depan. Notaris dimaksd belakangak diketahui majelis hakim, justru tidak turut dijadikan JPU sebagai saksi.
“Notaris itu dapat kan bisa menjelaskan kapan mengetahui nilai kredit untuk dituangkan dalam perjanjian kredit. Dia juga kan bisa menguraikan persetujuan jumlah kredit itu hadir dari mana? Pimpinan cabang atau admin?” kata As’ad.
Rp1,2 M
Sementara pada persidangan pekan lalu, Resti Abra selaku Pelaksana Wakil Pimpinan Bank Sumut KCP Melati Medan dan Analis Kredit Yulfandiniary Nasution telah dihadirkan sebagai saksi.
Terdakwa JCS seharusnya tidak menyetujui permohonan debitur, Heri Ariandi. Menurut Yulfandiniary Nasution nilai jual aset berupa rumah kos-kosan di Jalan SM Raja XII Gang Keluarga, Kelurahan Kota Matsum III, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 1329 yang dijadikan agunan, ditaksir sebesar Rp800 juta hingga Rp1,2 miliar.
Namun terdakwa JCS menyetujui permohonan fasilitas Kredit Perumahan Rakyat (KPR) debitur sebesar Rp1,8 miliar. Selain itu tidak data pembanding apakah debitur memiliki kesanggupan atau tidak mengembalikan cicilan kredit. Faktanya, perkaranya berujung kredit macet yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1.234.518.489. (ROBERTS)


