Kejati Sumut Kembali Hentikan Penuntutan 4 Perkara Humanis Pendekatan Keadilan Restoratif

Sebarkan:

 



Dokumen foto. (MOL/Ist)



MEDAN | Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) kembali menghentikan penuntutan 4 perkara humanis dengan pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).


Penghentian penuntutan keempat perkara tersebut setelah dilakukan ekspos oleh Kajati Sumut Idianto didampingi Wakajati Joko Purwanto, Aspidum Luhur Istighfar, Kasi TP Oharda Zainal serta Kasi lainnya dari ruang vicon lantai 2 kantor Kejati Sumut, Rabu, (9/8/2023). 


Ekspos perkara disampaikan secara virtual kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Dr Fadil Zumhana diwakili  Direktur TP Oharda pada JAM Pidum Agnes Triani, Koordinator pada JAM Pidum dan pejabat lainnya. 


Juga  diikuti secara daring oleh Kajari Taput Donny Kayamudin Ritonga dan Kajari Binjai Jufri Nasution serta JPU yang menangani perkaranya. 


Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan menyampaikan bahwa hingga Agustus 2023, pihaknya sudah menghentikan 80 perkara humanis dengan pendekatan Keadilan Restoratif.


Perkara yang dihentikan penuntutannya berasal dari Kejari  Belawan atas nama tersangka Noto Adi Lueh Alias Noto melanggar Pasal 480 ayat (1) KUHPidana. Dari Kejari Labuhanbatu dengan tersangka Jumintar Simangunsong melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana. 


Kemudian dari Kejari Labuhanbatu Selatan (Labusel) aras nama tersangka Septian Satria alias Tian melanggar Primair Pasal 44 ayat (1) Subsidair Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).


Dari Kejari Sibolga anak dibawah umur berinisial DPS alias A dijerat dengan sangkaan Pasal 480 ayat (1) dari KUHPIdana Jo UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 


Empat perkara ini disetujui JAM Pidum Kejagung RI untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan Perja No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif.


Artinya antara tersangka dan korban sudah saling memaafkan dan tidak ada lagi dendam. Perdamaian ini membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula.


"Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini lebih kepada esensinya, kenapa seseorang itu melakukan tindak pidana, dan pelaku tindak pidana menyesali perbuatannya dan menyampaikan permohonan maaf kepada korbannya. 


Dalam proses perdamaian, korban juga memaafkan pelaku yang berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya," kata Yos A Tarigan.


Mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini menambahkan bahwa proses pelaksanaan RJ itu berjenjang. Kemudian persyaratan paling utama adalah tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.


"Jadi kalau tersangkanya sudah pernah melakukan tindak pidana otomatis permohonan untuk penghentian perkaranya dengan pendekatan Keadilan Restoratif akan ditolak. (ROBS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini