Medan Plaza Dipastikan Pailit, Hakim dan Semua Pihak Diminta Hati-hati

Sebarkan:

Rapat pembahasan proposal rencana perdamaian PT MPC, Rabu (19/10/2022)

MEDAN |
PT Medan Plaza Centre (PT MPC) dipastikan pailit. Hal itu tergambar dari ditolaknya perpanjangan waktu dalam voting perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di ruang rapat kreditur lantai III Pengadilan Niaga pada PN Medan, Rabu (19/10/2022) sore.

Irfan Surya Harahap SH CLA CMLC, selaku Tim Pengurus PKPU PT MPC dalam laporannya mengatakan pada hari Rabu tanggal 28 September 2022, telah dilakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) PT MPC di Jakarta.

Kata Irfan, mereka selaku Tim Pengurus juga datang ke RUPS-LB tersebut. Turut juga hadir pihak Ny Sri Taslim, selaku pemegang saham 30 persen. Salah satu yang dibicarakan dalam RUPS-LB tersebut, kata Irfan, adalah terkait penyusunan proposal rencana perdamaian PT MPC.

Sebelumnya, lanjut Irfan, mereka juga telah disurati pihak Ny Sri Taslim agar Tim Pengurus yang mengingatkan Tim Pengurus berhati-hati terhadap adanya permasalahan yang terjadi antara para pemegang saham PT MPC.

Sebagaimana diduga sebelumnya, Direksi PT MPC sama sekali tidak mengajukan proposal perdamaian kepada para kreditur. Alasannya, para pemegang saham perusaahan keluarga konglomerat almarhum Djaya Tjandra tersebut tidak ada memberikan masukan dan tidak bersedia membuat usulan. Hal itu berulang kali ditegaskan Ahmad Zaini SH selaku Kuasa Hukum dari PT MPC yang kali ini tanpa dihadiri direktur perusahaan tersebut.

#Pemegang Saham 30 % Ada Usulan Proposal Perdamaian

Muhammad Adli SH, selaku Kuasa Hukum dari Ny Sri Taslim mengatakan, pihaknya selaku pemegang saham 30% sudah mengusulkan di RUPS-LB PT MPC, agar manajemen mengajukan penyusunan proposal perdamaian. Di samping itu, mereka juga sudah menghimbau kepada seluruh pemegang saham agar melaksanakan putusan 784/K/Pdt/2014 yang isinya dengan tegas membatalkan segala perbuatan dari para pemegang 70% saham almarhum Djaya Tjandra.

“Berdasarkan putusan tersebut, maka otomatis tidak ada lagi kewenangan para pemegang saham 70% yang merupakan warisan dari almarhum Djaya Tjandra itu, termasuk dalam memilih direktur mereka sudah tidak ada kewenangan. Sehingga segala perbuatan hukum direktur utama itu tidak mengingat di sini sebab perkara itu sudah berkekuatan hukum tetap. Jadi saham yang 70 persen itu masih dalam sengketa. Sedangkan Ny Sri Taslim selaku pemenang saham 30 persen juga sudah mengusulkan perdamaian dan agar dilakukan pencatatan ahli waris terhadap saham-sahamnya,” ujarnya.

Di samping itu pula, ada putusan nomor 400/Pdt.G/2018/PN.Mdn  yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan, bahwa Sri Taslim beserta dengan anak-anaknya juga bersama-sama berhak atas saham-saham yang merupakan warisan dari almarhum Djaya Tjandra.

Menanggapi itu, Irfan Surya Harahap mengatakan, sejauh ini belum ada satu pun pembatalan terhadap posisi jabatan Direktur Utama. Sehingga Fanny Gunawan sampai saat ini masih berhak dan berwenang mewakili PT MPC. “Apabila nanti ada pihak-pihak yang keberatan dengan keputusan direktur, atau mau mengganti direksi itu, ya silahkan. Kan ada mekanismenya juga untuk itu,” katanya.

#Salah Satu Pemegang Saham Daftarkan Verzet

Hartanta Sembiring selaku Kuasa Hukum dari Fitri Tjandra mengatakan pihaknya sudah melakukan verzet (baca: perlawanan) terhadap putusan nomor 400/Pdt.G/2018/PN.Mdn yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Verzet tersebut sudah kami daftarkan dan sudah mulai bersidang mulai tanggal 18 Oktober 2022 di Pengadilan Negeri Medan. Kami mengajukan verzet karena tidak diikutkan serta sebagai pihak. Maka kami mohon supaya putusan 400 itu ditinjau ulang,” katanya.

Di dalam rapat kreditur itu, Hartanta juga menyampaikan sebundel surat yang intinya meminta agar tagihan Sri Taslim yang sebesar Rp.10 miliar lebih di dalam PKPU ini dapat ditolak. Alasan dia, hal tersebut juga menjadi salah satu yang disengketakan di dalam verzet tersebut.

Namun Hakim Pengawas, Abdul Kadir SH langsung menanggapi. Bahwa keberatan yang diajukan pihak Fitri Tjandra tersebut bukan ranahnya di agenda tersebut. “Ranahnya bukan di sini. Ada yang namanya renvoi, dan sebagainya. Jadi bukan di PKPU. Sebab PKPU ini ujungnya adalah pihak debitur harus siapkan proposal perdamaian. Kalau ditolak atau diterima, ada mekanismenya nanti. Kalau PKPU dimasukkan dengan persoalan-persoalan seperti ini, ada malah warisan, sengketa pemegang saham. Pusing saya dibuatnya. Sementara PKPU sudah berjalan. Ini dulu diselesaikan, bagaimana caranya membayarkan utang kepada kreditur ini. Bukan mau mempermasalahkan ini dan itu. Jadi pening saya ini,” katanya sembari mengusapkan telapak tangan kanan ke kepalanya.

Lalu, lanjut Abdul Kadir, karena sudah memberikan kesempatan perpanjangan waktu selama 60 hari, dia menagih proposal perdamaian kepada debitor. Legal standing Direktur PT MPC belum ada pembatalan. Maka katanya, Fanny Gunawan berhak mewakili ke dalam dan ke luar.

Dalam tanggapannya, Kuasa Hukum PT MPC, Ahmad Zaini SH mengatakan, putusan perkara 533/Pdt.G/2010/PN.MDN yang diajukan Darwis Tansa terhadap Patty Cs sudah tidak lagi memiliki kekuatan yang mengikat. Karena penggugat sudah melakukan pencabutan dan para pihak telah membuat perdamaian dan mengesampingkan putusan tersebut.

Selanjutnya, seperti sebelumnya, Ahmad Zaini mengatakan perkara PT MPC adalah dilema. Sebab sejak terjadi kebakaran, perusahaan tidak lagi memiliki penghasilan. Sehingga tidak memiliki jaminan bagaimana membayarkan utang-utangnya.

“Setelah ada perpanjangan waktu 60 hari dari majelis hakim, tadinya diharapkan RUPS bisa menghasilkan sesuatu. Namun yang disayangkan, tidak ada satu pun proposal yang diajukan kepada kami. Pemegang saham saja tidak bisa membuat proposal perdamaian, apalagi kami sebagai pelaksana? Jadi dengan ini kami memohon maaf, sampai sekarang kami tidak bisa membuat proposal perdamaian tersebut,” sebutnya.

Kuasa Hukum Fansisca Ng, selaku pemohon menyebutkan, pihaknya berharap agar perkara PKPU dalam segera diselesaikan. Apakah nanti pailit atau berdamai tidak menjadi persoalan. “Intinya bagi pemohon yang penting ada kepastian. Tapi sekarang pihak termohon saja tidak ada memberi kepastikan, maka kami menyerahkan sepenuhnya kepada hakim pengawas untuk menyikapinya,” katanya singkat.

#Ada Perbuatan Melawan Hukum

Suharto alias Awie, salah satu anak dari almarhum Djaya Tjandra dengan Sri Taslim yang hadir dalam rapat tersebut mengatakan, dirinya sangat paham bahwa agenda saat ini adalah rapat pembahasan proposal perdamaian. “Sehingga kuasa debitor, Ahmad Zaini mengatakan putusan 533 sudah tidak berkekuatan. Namun jelas dalam putusan tersebut disebutkan, ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tergugat dan itu belum dibatalkan. Itu tidak bisa dikesampingkan. Itu yang mau saya katakan agar narasi itu tidak salah ditafsirkan,” ungkapnya.

Terhadap RUPS, katanya, Suharto sendiri hadir dalam pertemuan tersebut. Dirinya tidak terima disebut tidak ada proposal perdamaian yang disampaikan, sebab Ny Sri Taslim selaku pemegang saham 30 persen telah mengajukannya.

“Jadi Ny Sri Taslim ada mengajukan, supaya permasalahan yang ada di PKPU ini bisa diselesaikan dengan baik. Tetapi keputusan yang diambil justru adalah tidak perlu perdamaian. Dan yang mengambil keputusan tersebut, mereka ini tidak berwenang berdasarkan putusan-putusan yang ada sebelumnya. Di sini permasalahannya,” katanya.

Sejak awal, lanjut Awie, narasi yang disampaikan selalu RUPS tidak quorum. Padahal berdasarkan putusan-putusan pengadilan yang ada, yang punya hak itu saat ini adalah pemegang saham 30 persen, yaitu Ny Sri Taslim. Tapi pada hari ini yang disampaikan kepada para kreditur di sini bukan proposal perdamaian yang diajukan oleh pemegang saham yang berhak, tetapi keputusan yang diambil oleh pemegang saham masih status quo.

“Jadi ini kami kembalikan kepada hakim pengawas untuk menilai. Untuk mengambil kebijakan apakah supaya dilakukan dulu dong pencatatan pemegang saham yang sah sebenarnya, supaya kalian bisa RUPS, bisa quorum, bisa memberikan proposal perdamaian,” ungkap Awie yang langsung ditanggapi Abdul Kadir, bahwa PT MPC sudah tidak beroperasi lagi dan neraca keuangannya pun dirinya tidak tahu.

#Sidang Sempat Ricuh

Kemudian, Irfan Surya Harahap menyebutkan, terlepas dari sengketa yang terjadi antara para pemegang saham dan ahli waris Djaya Tjandra, mereka sebagai Tim Pengurus tidak punya kewenangan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.

Lalu, Muhammad Adli SH menyarankan agar Tim Pengurus dapat menghadirkan ahli. “Kenapa perlu ahli? Secara hukum putusan 400, selain Patty cs, masih ada lagi pemegang saham yang lain. Ada haknya sebagai ahli waris Djaya Tjandra. Itu sudah incrah. Makanya tindakan direktur itu, sekarang sudah tidak punya kewenangan. Kita ini maunya Tim Pengurus mengkaji dulu putusan-putusan yang telah ktia sampaikan. Sampai kepada debitur, bahwa dirinya tidak punya kewenangan. Kita mau agar aturan-aturan tidak ditabrak. Jadi awalnya pemegang saham itu ada dua. 70 persen Djaya Tjandra dan 30 persen Sri Taslim. Setelah Djaya Tjandra meninggal, ini ada ahli waris yang sudah tercatat dan ada ahli waris yang belum tercatat. Berdasarkan putusan 400 jelas tertuang, bahwa semua ahli waris punya hak, termasuk Suharto (Awie cs) untuk saham yang 70 persen. Jadi yang tidak bisa diganggu gugat adalah saham yang 30 persen Sri Taslim. Jadi saya usulkan, kalau memang mau ambil kebijakan dan keputusan, dan Tim Pengurus kurang memahami isi putusan-putusan tersebut, maka diperlukan ahli. Kalau mau dikaji ulang, mari kita kaji ulang untuk memastikan siapa yang punya kewenangan terhadap 70 persen saham tersebut. Sebagaimana pasal 56 hukum perseroan, ahli waris tidak perlu lagi untuk dibuktikan, tetapi cukup didaftarkan. Dan kami sudah meminta kepada direktur untuk didaftarkan ini semua ahli warisnya. Biar kita dudukkan para pemegang saham, lalu kita tunjuk siapa yang punya kewenangan. Tetapi masukan kita ini selalu diabaikan terus. Jadi kalau diabaikan terus, saya melihat Tim Pengurus tidak independen,” ungkapnya.

Merasa tersinggung, Irfan Surya Harahap berusaha menyela sehingga sempat terdengar sedikit gaduh. Karena kesal, Hakim Pengawas Abdul Kadir langsung memukul palu sekeras-kerasnya ke meja rapat. “Sebentar, jadi untuk apa saya duduk di sini? Jadi kalau saya tidak didengar, bagus saya keluar!” ketusnya.

Lanjutnya, terkait masalah sengketa saham, menurut Abdul Kadir di sini bukan ranahnya. Dia mempersilahkan para pihak untuk mengajukan gugatan, mau mengajukan pembubaran PT, namun dirinya tidak mau masuk ke dalam konflik tersebut.

“Sekarang prosesnya, apakah debitur siap untuk mengajukan proposal perdamaian? Karena masih banyak kepentingan dari kreditur-kreditur lain, terutama mantan karyawan. Apakah nanti ditolak atau diterima, itu mekanismenya. Saya rasa pahamlah kita itu semua. Jadi jangan dibawa masalah pemegang saham, ahli waris ribut dengan yang ini. Jadi bagiamana? Sekarang sudah dinyatakan PT MPC dalam keadaan PKPU. Yang mewakili direksi sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PT MPC, adalah direktur. Ya sudah, apalagi? Kalau ada konflik PT MPC, harusnya diselesaikan antara pemegang-pemegang saham ini. Jangan pula menghalangi proses pembayaran restrukturisasi utang kepada kreditur. Jadi jangan lagi mengatakan tidak pahamlah, begitu lah,” katanya menengahi.

Kemudian, Irfan Surya Harahap pun kembali ambil suara. “Tadi kuasa Sri Taslim mengatakan putusan 400 tidak kita penuhi. Sementara tagihan beliau sendiri kita akui berdasarkan putusan 400. Kenapa mengatakan kami Tim Pengurus tidak mengakui. Ini kan aneh,” sebutnya.

Lalu, Muhammad Adli SH mempertanyakan, berdasarkan putusan 400 apakah Direktur PT MPC adalah legal? Abdul Kadir kembali bertanya. “Apakah (jabatan direktur-red) ada dibatalkan ? Kenapa ketika di awal tidak dinyatakan bahwa direktur ini tidak sah mewakili PT MPC? Jangan setelah sampai (pembahasan proposal rencana perdamaian-red) di sini, baru dibahas. Pahamlah saya rasa saudara,” katanya.

Alhasil karena tidak ada jalan keluar, Tim Pengurus pun melanjutkan agenda rapat. Karena debitur tidak juga dapat menghadirkan proposal perdamaian, sehingga dilanjutkan dengan voting yang hasilnya PT MPC dipastikan pailit.

#Ada Standard Ganda Dalam Penetapan Tagihan

Jonson David Sibarani SH dan Sudirman SH alias Asiong

Terpisah di luar agenda rapat, Jonson David Sibarani SH dan Sudirman SH alias Asiong, selaku Kuasa Hukum ahli waris Djaya Tjandra hasil perkawinan dengan Sri Taslim mengatakan agar semua pihak tetap berhati-hati dalam mengambil tindakan-tindakan. Jangan sampai ada yang merugikan ahli waris yang namanya belum dicatatkan sebagai pemegang saham PT MPC pasca putusan nomor 400.

“Kita paham mekanisme PKPU. Tapi saya juga mau sampaikan, PKPU tidak berdiri sendiri. Jika berkaitan dengan koperasi, maka PKPU harus mengacu kepada regulasi koperasi. Bila menyangkut perkebunan, PKPU pun harus mengacu kepada UU Perkebunan. Begitu juga dalam perkara ini, PKPU PT MPC harus mengacu juga kepada UU Perseroan dan asas-asas hukum waris. Awas, jangan sampai ada yang dirugikan,” ketusnya.

Menanggapi pernyataan Irfan Surya Harahap yang menyatakan tagihan Sri Taslim sebesar Rp10 miliar lebih diakui karena mempertimbangkan putusan 400, pihaknya sangat menghargai hal tersebut. Oleh karenanya, maka sudah sepatutnya Tim Pengurus juga menerima tagihan para klien mereka, yakni Lily Tan, Marlinda, Suharto dan Sudirman Chandra.

“Putusan 400 adalah satu kesatuan. Kenapa di satu sisi disebutkan tagihan Sri Taslim diterima dengan dasar putusan 400? Sementara di dalam putusan 400 masih ada amar putusan lain. Bukan cuma soal Sri Taslim. Baca amar putusan poin ke-5 halaman 62. Di situ disebutkan klien kami, Lily Tan, Marlinda, Suharto dan Sudirman Chandra adalah ahli waris sah dari almarhum Djaya Tjandra. Para penggugat (Patty cs-red), mereka ini bersama-sama dengan para klien kami berhak menerima bagian atas saham milik almarhum Djaya Tjandra. Ini jelas dan tegas. Hukum perseroan dan hukum waris sudah ditegakkan di putusan itu. Lalu kenapa Tim Pengurus ada standard ganda dalam menetapkan daftar tagihan?” ketusnya.

Oleh karena telah terjadi voting dan dipastikan PT MPC pailit, maka para pengacara dari Kantor Hukum Metro itu kembali mengingatkan agar Hakim Pengawas dan Hakim Pemutus bijaksana dalam mengambil langkah-langkah ke depannya. Jangan sampai ada pihak yang dirugikan dalam perkara tersebut.

“Dan, kami juga mengingatkan kepada pengurus perusahaan PT MPC. Ada dugaan pidana terhadap langkah-langkah yang telah mereka lakukan beberapa waktu lalu. Perkaranya pun telah berproses di kepolisian. Sekiranya bisa, mari duduk bersama. Mari kita cari solusi terbaik. Karena bagaimana pun, mereka ini semuanya masih satu darah dari almarhum Djaya Tjandra. Maka jalan terbaik adalah perdamaian. Karena ini adalah warisan dari almarhum,” pungkasnya.(rel)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini