Jadi Dosen Tamu di USU, Aspidsus Dr Iwan Ginting Paparkan Pasal Tipikor dalam KUHP Baru

Sebarkan:



Aspidsus Kejati Sumut Dr Iwan Ginting menjadi dosen tamu dalam kuliah umum, bagian dari kegiatan menyemarakkan Dies Natalis ke-70 FH USU. (MOL/Ist)




MEDAN | Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) Dr Iwan Ginting yang juga Ketua Panitia Dies Natalis ke-70 Tahun Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH-USU) menjadi dosen tamu dalam kuliah umum di Aula FH USU, Selasa (20/2/2024).


Sebelum menyampaikan materi tentang 'Tindak Pidana Baru dan Tindak Pidana Khusus dalam KUHPidana Baru', Dekan USU Dr Mahmul Siregar didampingi salah seorang dosen Dr Affila menyampaikan bahwa alumni mengajar adalah salah satu bagian dari bakti kampus, rangkaian acara Dies Natalis FH USU yang ke-70. Ada juga pengabdian masyarakat, bakti sosial dan pertandingan olahraga.


"Bakti kampus Alumni Mengajar ini adalah upaya kita untuk mengenalkan para alumni FH USU yang sudah bekerja dan tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari menteri, jaksa, hakim, pejabat pemerintah dan pengacara. 


Alumni Mengajar ini kita harapkan dapat memotivasi mahasiswa bahwa senior mereka yang dulu kuliah di FH USU ternyata bisa berhasil," tandasnya.


Kehadiran Aspidsus Kejati Sumut Dr Iwan Ginting ke kampus USU, lanjut Mahmul Siregar, kiranya dapat memotivasi mahasiswa bahwa alumni USU bisa menjadi pejabat tertentu di Kejaksaan RI. "Jadi jangan berkecil hati, kita bisa menjadi apa pun kalau kita benar-benar mau bersungguh-sungguh," katanya.


Dengan dipandu dosen FH USU Rini Andriani, mantan Kejari Jakarta Barat Dr Iwan Ginting tersebut memulai materinya tentang tindak pidana baru dan mengajak seratusan mahasiswa yang ikut kuliah umum untuk memberikan pendapatnya masing-masing terkait tindak pidana baru tersebut.


"Setiap mahasiswa yang ada di ruang kuliah ini bebas memberikan pendapatnya, sedikit berdebat agar mahasiswa bisa lebih menguasai dan memahami sejauh mana tindak pidana baru tersebut memberi dampak terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia," kata Iwan Ginting.


Tindak pidana baru yang sama sekali baru, lanjut Iwan Ginting, adalah kohabitasi Pasal 412, penyesatan terhadap proses peradilan Pasal 278, mengganggu dan merintangi proses peradilan Pasal 280 dan hubungan seksual dengan hewan Pasal 337 Ayat (1) huruf b. 


Kemudian, tindak pidana yang diambil dari luar KUHPidana lama yakni UU 24/2009, UU 7/2011, UU 11/2008, UU 40/2008, UU 23/2004, UU 36/2009, UU 23/2002, UU 21/2007. UU 44/2008 dan UU 6/2011.


Saat Iwan Ginting melempar isu terkait kohabitasi, beberapa mahasiswa langsung memberikan tanggapannya. Dan rata-rata dari mahasiswa yang memberi pendapat menolak yang namanya 'kumpul kebo' karena tidak diikat dengan pernikahan.


Di mana, dalam KUHPidana ‘Baru’, soal ini diatur dalam Pasal 412. Adapun isi lengkap Pasal 412 KUHP Ayat (1), Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.


Di Ayat (2), terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a, suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau

b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.


Pada Ayat (3), sambungnya, terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.


Ayat (4), pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.


Perdebatan dan pemberian pendapat juga sangat beragam terkait dengan penanganan  tindak pidana korupsi di negeri ini. Ada yang berpendapat bahwa KUHPidana ‘Baru’ tersebut melemahkan fungsi lembaga penegak hukum dan ada juga mahasiswa yang memberikan pendapat berbeda.


Kewenangan APH


"Sementara, dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi (tipikor) di negeri ini, masing-masing lembaga penegak hukum sudah memiliki UU sendiri, Standar Operasional dan Prosedur (SOP) dan tata kelola menangani perkaranya masing-masing. 


Jadi, pada prinsipnya penanganan perkara tindak pidana korupsi itu kewenangannya ada pada lembaga masing-masing," kata Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan saat diminta narasumber untuk memberikan masukannya.


Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan, perbedaan pandangan, pendapat, dan pemahaman tidak hanya terjadi kepada APH. Jauh sebelum UU KUHPidana disahkan, perbedaan ini bahkan sudah dimulai, yaitu antara pihak yang mendukung dengan pihak yang menentangnya.


Perbedaan ini antara lain meliputi pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, dan tindak pidana khusus.


"Untuk itu, penyamaan pandangan dan pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi penting karena penegak hukum yang akan menjadi ujung tombak dalam mengimplementasikan KUHPidana," tegas Yos A Tarigan.


Kemudian menjadi tambahan,  Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan, Selasa (16/1/2024) lalu memutuskan Kejaksaan Republik Indonesia tetap memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara dugaan korupsi. 


Pasalnya, sesuai ketentuan hukum memberi kewenangan penyidikan korupsi kepada Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Kuliah umum yang lebih mengedepankan pola diskusi dua arah dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa dalam berpendapat menjadikan suasana kuliah umum di FH USU lebih hidup dan bermakna.


Di akhir perkuliahan, Iwan Ginting yang juga pernah menjadi Kejaksaan Negeri (Kajari) Langkat dan Humbang Hasundutan itu memotivasi mahasiswa agar rajin belajar, asah terus kemampuan dalam memberikan pendapat dan gali potensi diri agar kelak memiliki bekal terbaik untuk mewujudkan cita-citanya. (ROBERTS)






Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini