Foto ilustrasi. |
Selain sebagai lembaga negara yang berwenang menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD (PUU), MK juga memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 (SKLN), memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil Pemilu (PHPU), dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Terkait kewenangan pengujian UU, selain putusan soal batasan usia minimal capres/cawapres yang sudah dikeluarkan pada tanggal 16 Oktober 2023 lalu melalui Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang mendapat penolakan dari berbagai kalangan, menurut situs resmi MK, untuk jadwal sidang agenda pembacaan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batasan usia maksimal capres/cawapres dijadwalkan Senin (23/10/2023), dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023.
Selain perkara tersebut, ada 3 perkara lainnya yang yang juga akan diputus yakni perkara nomor 102/PUU-XXI/2023 tentang pengujian materiil UU Pemilu yang memohon agar usia capres dibatasi maksimal 70 tahun serta tidak pernah cidera karena terlibat pelanggaran HAM, perkara nomor 96/PUU-XXI/2023 tentang uji materi UU Pemilu yang memohon agar syarat usia capres/cawapres diturunkan menjadi 25 tahun, dan perkara nomor 93/PUU-XXI/2023 tentang uji materi UU Pemilu yang memohon usia cawapres minimal berusia 21 tahun.
Terkait dengan perkara nomor 107/PUU-XXI/2023, pengamat hukum yang juga pengampu mata kuliah Studi Konstitusi dan Lembaga Negara di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Graha Kirana, Pardomuan Gultom, S.IP., SH., MH dalam keterangan persnya, Minggu (22/10/2023), menyampaikan bahwa hakim konstitusi dalam memutus perkara apapun yang terkait dengan kewenangannya harus bebas dari kepentingan pribadi dan kepentingan politik.
"MK itu lembaga pengawal konstitusi yang harus mampu menerapkan prinsip independensi dan imparsialitas. Mengapa prinsip itu harus dipegang teguh oleh hakim konstitusi? Alasannya, karena MK merupakan benteng terakhir yang dimiliki rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam memperjuangkan hak konstitusionalnya," ujar Pardomuan.
Dia menjelaskan bahwa sekalipun MK punya kewenangan sebagai penafsir konstitusi melalui pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang, misalnya dalam perkara nomor 107/PUU-XXI/2023 tentang uji materi UU Pemilu yang memohon pembatasan usia capres/cawapres maksimal berusia 70 tahun, dapat dianggap legitimate jika sepanjang hakikat tujuan dari penafsiran norma UU yang diuji materi diposisikan di bawah kontrol konstitusi.
"Antara interpretasi hakim konstitusi terhadap suatu norma dari pasal-pasal yang diuji materi dengan putusan yang akan dihasilkan kemudian sangat berhubungan. Bisa saja putusan itu menjadi ultra petita seperti putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, dimana hakim konstitusi mengeluarkan putusan yang melebihi apa yang dimohonkan oleh pemohon uji materi Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batasan usia minimum capres/cawapres," katanya.
Alumnus magister ilmu hukum Universitas Nasional (UNAS) Jakarta ini juga menjelaskan bahwa larangan terhadap putusan yang sifatnya ultra petita telah diatur dalam Pasal 45A UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan putusan MK tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
"Putusan yang ultra petita diperkenankan, sepanjang didasari oleh interpretasi konstitusi yang tepat oleh MK, jika hal itu bertujuan untuk menegakkan supremasi konstitusi terhadap UU. Bukan untuk tujuan yang diluar dari kewenangan yang diatribusikan kepada MK yang dapat membuat multi tafsir terhadap putusannya," ungkapnya.
Pardomuan berharap putusan yang dihasilkan besok tidak lagi ultra petita karena dapat menimbulkan interpretasi yang subjektif.
"Jika pada Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 MK telah memberikan batasan minimum usia capres/cawapres, maka sudah selayaknya MK memberikan syarat objektif pengaturan usia maksimal capres/cawapres dalam perkara nomor 107/PUU-XXI/2023. MK dapat melakukan interpretasi harfiah terhadap usia maksimum capres/cawapres meskipun ketentuan ini merupakan legal policy dari pembuat UU atau tidak diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu," terangnya.
Menyambung hal tersebut, dia mengatakan bahwa interpretasi harfiah terhadap pasal yang sedang diuji materi tersebut dapat dilakukan dengan menganalisa karakteristik jabatan presiden dan wakil presiden yang dihubungkan dengan aspek kepemimpinan dan manajemen kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan.
Misalnya, jika usia maksimal capres/cawapres dibatasi 70 tahun, maka ketika menjabat periode kedua, usianya memasuki 80 tahun.
"Pembatasan usia maksimal 70 tahun saya rasa cukup rasional dan menenuhi syarat objektif karena berhubungan dengan produktifitas seorang presiden atau wakil presiden sebagai pemimpin eksekutif," tutupnya. (Sdy/Sdy)