Dokumen foto Togar Lubis dan Jonson Sibarani (pertama.dam kedua dari kiri), tim PH terdakwa mantan Kadisdik Langkat Saiful Abdi Siregar dan eks Kepala BKD Eka Syahputra Depari. (MOL)
MEDAN | Hingga, Kamis petang (12/6/2025) tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) sudah menghadirkan 61 saksi fakta dalam sidang perkara dugaan korupsi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Langkat Tahun 2023.
Namun fakta terbilang mencengangkan yang terungkap di Pengadilan Tipikor Medan, tak satupun yang mengarah ke mantan Kadisdik Saiful Abdi Siregar dan eks Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Eka Syahputra Depari.
“Perkara ini sangat aneh. Entah bagaimanalah kasus ini bisa sampai dilimpahkan ke persidangan. Seharusnya dulu jaksa selayaknya mengembalikan berkas perkaranya ke penyidik Polda Sumut. Bukan malah menerima berkasnya (P-21) dan melimpahkannya ke persidangan.
Kalau sudah begini, tentunya wajah kejaksaan seperti kena tampar dalam tanda kutip,” celoteh Jonson David Sibarani SH MH, selaku Ketua Tim Penasihat Hukum (PH) terdakwa Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra dari DepariKantor Hukum Metro yang ditemui wartawan seusai persidangan.
Alumni Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen tahun 1997 itu mengaku optimis. Demi hukum majelis hakim yang memimpin persidangan sudah selayaknya membebaskan Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra Depari.
Sebab jaksa sudah diberi kesempatan terakhir untuk menghadirkan saksi-saksi fakta, namun hasilnya tidak seorang pun yang mengatakan kedua kliennya terlibat dalam tindak pidana suap, sebagaimana dakwakan JPU.
Selain tidak terlibat transaksional dengan para guru honor yang ikut seleksi PPPK, Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra Depari ternyata tidak punya kewenangan untuk menentukan kelulusan peserta.
“Semua proses dikomandoi panitia pusat. Lulus tidak lulusnya peserta, itu domainnya panitia seleksi nasional. Bukan Panitia Seleksi di Daerah (Panselda). Nanti akan kami faktakan dalam sidang selanjutnya,” ujar Jonson yang didampingi rekannya, Togar Lubis SH MH.
Magister Hukum jebolan Universitas Prima Indonesia (Unpri) itu menilai, seharusnya perkara ini bukan ditangani dalam kategori perkara tindak pidana korupsi. Tetapi hanya pantas diproses dalam tindak pidana biasa, yakni transaksional antara peserta dengan kepala sekolah yang notabene bukan bagian dari unsur kepanitiaan.
“Itu tercermin di dalam pernyataan Ketua Majelis Hakim, Bapak M Nazir yang diutarakan di persidangan tadi. Bahwa berdasarkan seluruh saksi tadi, semua 'mentok' di terdakwa lainnya Awaluddin dan Rohayu Ningsih selaku Kepala Sekolah (Kasek).
Mereka juga yang mengembalikan uangnya kepada para peserta yang lulus maupun gak lulus seleksi. Tidak seorang pun saksi menerangkan adanya keterlibatan kedua klien kami,” ketusnya.
Hal itu, lanjutnya, sangat berbeda dengan kasus PPPK yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dan Batubara. Di mana di kedua daerah tersebut, ada terjerat operasi tangkap tangan dan ditemukan barang bukti senilai miliaran rupiah.
Sedangkan di Kabupaten Langkat, tidak ada OTT dan tidak ada barang bukti. “Kalau kita melihat fakta persidangan, perkara ini hanya berhenti di kasek. Seperti istilah menembak di atas kuda,” duganya.
Sementara itu, Togar Lubis yang ditanyai juga mengatakan, pelaksanaan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) tersebut sangat baik. Sebab tujuannya adalah untuk menjaring guru-guru honorer yang punya loyalitas tinggi sesuai dengan harapan pemerintah daerah.
Di mana mereka bersedia ditempatkan sesuai dengan kebutuhan guru, termasuk di daerah terpencil dan sekolah yang kekurangan guru. Sebab pengalaman di tahun-tahun yang lalu, para guru honorer itu cepat sekali mengurus pindah, karena tidak mau atau tidak bersedia ditempatkan di sekolah-sekolah pedalaman.
Disinggung soal adanya keterangan para guru honor yang menjadi saksi, di mana ada peserta PPPK yang bernilai lebih tinggi dari peserta yang lain tetapi tidak lulus, Togar menerangkan, asumsi itu adalah salah.
Sebab katanya, ada beberapa kriteria peserta. Mulai dari guru kelas, guru mata pelajaran dan sebagainya. Itu nilainya berbeda semua.
“Tidak bisa disamakan nilai guru kelas dengan guru mata pelajaran. Semua itu tergantung quotanya dan jumlah peserta yang berminat. Nanti akan lebih jelas diterangkan di dalam sidang berikutnya. Kita tunggu saja tanggal mainnya,” ujar Aktivis asal Kabupaten Langkat tersebut.
Terkait adanya framing dari salah satu lembaga di Kota Medan yang selalu menyudutkan kliennya lewat pemberitaan-pemberitaan miring, Togar mengatakan, hal itu terjadi atas kerjasama dengan guru-guru yang tidak lulus selama ini.
"Namun semua itu ternyata cuma penggiringan opini publik. Sebab semuanya terbantahkan dalam fakta persidangan. Karena dari 61 saksi dari berbagai kalangan, tidak satupun yang mengarah kepada mantan Kadisdik Langkat dan Kepala BKD Langkat," pungkas Togar. (RED)