JAKARTA | Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan salah satu gugatan tentang syarat capres-cawapres sarat akan kepentingan.
Uji materi yang dimaksud terhadap pasal 169 huruf q dalam UU Pemilu mengenai syarat capres-cawapres.
"Bangsa ini patut kecewa. Keputusan tersebut mengandung penyelundupan hukum," ucap Sekretaris Umum PP GMKI Artinus Hulu saat diwawancarai di Jakarta pada Selasa, 17 Oktober 2023.
Diketahui, dari total enam perkara, hanya satu yang dikabulkan sebagian yaitu perkara nomor 90 yang mengatur syarat batas usia Capres dan Cawapres 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.
Sementara tiga perkara ditolak dan dua perkara lainnya tidak dapat diterima.
PP GMKI menilai ada sejumlah kejanggalan yang terjadi pasca putusan tersebut.
Sekretaris Umum menyebutkan jika putusan yang diambil MK tersebut tidak bulat sepenuhnya.
"Concurring opinion dari 2 hakim dan dissenting opinion dari 4 hakim, memperlihatkan kegamangan dalam diri sejumlah hakim konstitusi saat akan memutuskan perkara," tegas Hulu sapaan akrabnya.
Disisi lain, PP GMKI menilai bahwa MK seharusnya bertindak sebagai negative legislator.
"Jadi positive legislator ada di DPR dan negative legislator ada pada MK. Seharusnya persoalan ubah-mengubah ada di DPR. MK hadir untuk membatalkan aturan jika ada sesuatu yang bertentangan dengan UUD," tegas Hulu.
Yudikatif, lanjut Hulu, hadir sebagai pelindung hak asasi manusia.
"MK itu penjaga gawang konstitusi. Sayangnya, dalam putusan kali ini, terlalu banyak muatan politis yang menggerayangi konstitusi kita," tegas Mahasiswa Pascasarjana UI tersebut.
Diketahui, jika Ketua MK memiliki hubungan kekerabatan dengan Presiden Jokowi, Walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep.
Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan aturan yang terkait dengan persoalan kekerabatan ini.
"UU tersebut dengan tegas menjelaskan tindakan yang harus dilakukan jika hakim punya hubungan kekeluargaan. Seharusnya tidak ada alasan Ketua MK untuk ikut serta," lanjutnya.
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, hakim harus mengundurkan diri dari persidangan jika terikat hubungan keluarga.
"Sayangnya, bukannya mengundurkan diri, Anwar Usman justru terlibat didalam pengambilan keputuaan dalam perkara."
Sekreraris Umum PP GMKI menilai adalah wajar jika masyarakat akhirnya mempertanyakan keputusan ini.
"Diluar persoalan independensi kelembagaan konstitusi, seharusnya diperhatikan juga masalah moralitas," lanjut Hulu.
Menurut Hulu, lembaga peradilan, seharusnya dapat memberikan pendidikan hukum yang sehat bagi masyarakat melalui putusan-putusannya.
"Masyarakat kita tidak bodoh. Dan terlebih-lebih jangan pecundangi konstitusi yang jadi hukum tertinggi dan identitas bangsa," tegas Hulu.
Secara substansi kita setuju bahwa anak muda harus diberikan peluang dan kesempatan yang sama dalam memimpin.
"Tapi bukan begini caranya. Kesan yang terbangun, putusan ini hanya untuk mengamankan satu pemuda saja. Jadi jangan mengklaim tindakan ini atas nama pemuda, kalau niat awalnya untuk kepentingan orang-perorangan," tutup Hulu.(rel)