Usai memberikan pendapat, Dr Mahmud Mulyadi dan Dr Dani Sintara (tengah) foto bersama tim PH terdakwa Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra Depari.
(MOL)
MEDAN | Sidang perkara dugaan korupsi terkait seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Pemkab Langkat Tahun Anggaran (TA) 2023 sudah menuju tahapan akhir.
Teranyar, tim penasihat hukum (PH) terdakwa mantan Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Dr H Saiful Abdi Siregar SE SH MPd dan mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Eka Syahputra Depari SSTP MAP menghadirkan dua orang ahli hukum untuk membela kepentingan kedua kliennya, Senin sore (30/6/2025) di Ruang Cakra Utama Pengadilan Tipikor Medan.
Dalam persidangan dipimpin hakim, M Nazir tersebut, ahli hukum pidana Dr Mahmud Mulyadi SH MHum berpendapat, perbuatan sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi haruslah, dibuktikan unsur subjektif dan objektifnya.
”Inti unsur objektif di Pasal 12 huruf e adalah adanya perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kekuasaan dan memaksa. Ada atau tidak aturan hukum tertulis yang dilanggar si pegawai negeri atau penyelenggara negara itu? Di pasal ini, dia dilarang untuk menyalahgunakan kekuasaannya itu, serta harus ada perbuatannya yang melawan hukum hingga memaksa orang untuk melakukan sesuatu.
Semua unsur itu harus dibuktikan. Pembuktiannya harus dengan alat bukti yang bisa diukur. Tidak boleh asumsi atau pun perkiraan. Jadi salah satu saja unsur objektif ini tidak terpenuhi, maka tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana,” kata Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) itu.
Sedangkan unsur subjektif dalam Pasal 12 huruf e tersebut, terangnya, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, harus ada unsur kesengajaan. Ada niat dari seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut untuk melakukan perbuatan itu.
Masih dilanjutkan akademisi yang berasal dari Palembang itu, pada dasarnya pertanggungjawaban pidana adalah individual. Sekalipun pelakunya mungkin lebih dari satu orang. Jadi harus diverifikasi jangan sampai error in persona.
Jika tidak ada perintah dari atasannya, namun seseorang melakukan pungli, maka perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pimpinannya.
Sedangkan terkait dengan Pasal 11 UU No 20 tahun 2001 yang juga didakwakan kepada Saiful Abdi dan Eka Syahputra, unsur objektifnya adalah menerima hadiah atau janji akibat kewenangan dan kekuasaan dari si pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Sementara itu, ahli hukum administrasi negara Dr Dani Sintara SH MH dalam berpendapat, agar seseorang dapat dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, harus ada perbuatan melawan hukum dilihat dari unsur penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangannya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
“Dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, kapankah seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menyalahgunakan kewenangannya? Dikategorikan ada 3 bentuk. Satu saja terjadi, maka dia sudah menyalahgunakan kewenangannya. Yakni, terjadinya melampaui kewenangannya, mencampuradukkan kewenangannya, atau pun berlaku sewenang-wenang,” ujar akademisi dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) itu.
Bebas
Usai persidangan, ketua tim PH terdakwa mantan Kadis dan Kepala BKD, Jonson David Sibarani SH MH dari Kantor Hukum Metro mengatakan, apa yang diterangkan oleh kedua ahli hukum tersebut sangatlah jelas.
Pernyataan-pernyataan Dr Mahmud Mulyadi dan Dr Dani Sintara membuat pihaknya sangat yakin jika kedua kliennya, yakni Dr Saiful Abdi Siregar dan Eka Syahputra Depari bakal bebas dari jeratan hukum.
”Baik Saiful Abdi mau pun Eka Sahputra, tidak patut untuk dijerat Pasal 12 huruf e maupun Pasal 11 UU No 20 tahun 2001. Kenapa? Karena Klien kami melakukan Seleksi Kompetensi Teknis Tambahan (SKTT) sebagai bagian dari seleksi PPPK, sudah sesuai dengan mekanisme yang ada.
Sudah sesuai dengan juknis. Menjalankan tugas pendelegasian dari Panselnas. Jadi tidak patut dipersalahkan menyalahgunakan kewenangan sebagaimana yang dituduhkan jaksa penuntut umum,” ujar alumni S-1 dari Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen stambuk 1997 itu.
Dijelaskannya lagi, dari seluruh persidangan yang berlangsung selama ini, baik Saiful Abdi mau pun Eka Syahputra, sama sekali tidak ada memberikan perintah dalam hal pengutipan uang dari peserta seleksi kepada ketiga terdakwa lainnya, Alek Sander maupun Awaluddin, begitu juga Rohayu Ningsih.
”Bahkan kalau kita cermati, tidak ada satu pun saksi yang menyatakan ada memberikan uang kepada Saiful dan Eka. Kedua klien kita juga tidak ada memberikan perintah kepada siapa pun untuk melakukan kutipan kepada peserta seleksi P3K itu.
Sedangkan pelaksanaan SKTT itu dijalankan atas dasar pendelegasian dari Panselnas. Semua administrasi telah dijalankan. Kalau ada peserta yang tidak lulus, itu bukan kesalahan di klien kita. Tetapi memang kuota yang terbatas.
Soal nilai peserta yang menjadi rendah setelah SKTT, itu bukan domainnya Saiful dan Eka. Tetapi itu berdasarkan sistem yang dibuat oleh Panitia Seleksi Nasional (Panselnas). Lulus tidaknya peserta, penentunya adalah Panselnas. Jadi kenapa Saiful dan Eka yang disalah-salahkan?” ketus Magister Hukum dari Universitas Prima Indonesia (Unpri) itu.
Oleh karena itu, Jonson yang didampingi rekannya, Togar Lubis SH MH berkeyakinan, bila hakim memakai logika hukum serta menggunakan hati nurani, maka sudah sepantasnya Saiful Abdi dan Eka Syahputra divonis bebas.
”Apalagi terdakwa Eka Syahputra. Total tak satu pun saksi yang menyebutnya. Jadi kami nilai, kedua klien kami ini diseret hanya berdasarkan asumsi mulai dari penyidik maupun oleh JPU,” pungkasnya.
Terkait dengan perkara ini, Ketua Majelis Hakim, M Nazir menekankan agar JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) tidak lagi mengulur waktu mengingat masa penahanan 3 terdakwa lainnya sudah akan berakhir. ”Kita minta jaksa sudah harus membacakan tuntutan di hari Kamis ini,” katanya sembari menutup persidangan. (TIM)