Kejati Bali Akhirnya Tahan Kasi Pemeriksaan Kantor Imigrasi TPI Ngurah Rai

Sebarkan:

  



Dokumen foto tim Pidsus Kejati Bali melakukan pemeriksaan di Bandara Internasional Ngurah Rai. (MOL/Ist)




DENPASAR | Tim penyidik pada tindak pidana khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Rabu (15/11/2023) akhirnya menetapkan HS, Kepala Seksi 

(Kasi) Pemeriksaan I pada Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) Ngurah Rai sebagai tersangka.


Untuk memperlancar proses pemeriksaan lebih lanjut, tersangka kemudian dilakukan penahanan di Lapas Kerobokan Denpasar untuk 20 hari ke depan.


Hal itu dibenarkan Kajati Bali Narendra Jatna melalui Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Putu Agus Eka Sabana P lewat pers rilisnya yang diterima, Rabu malam tadi (15/11/2023).


Ditetapkannya HS sebagai tersangka setelah tim Pidsus Kejati Bali mendapatkan minimal 2 alat bukti berupa keterangan saksi-saksi, alat bukti surat dan barang bukti serta petunjuk.


"Perananannya dalam tindak pidana sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut 

diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan.


Atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," urai Putu Agus Eka.


HS disangka melanggar Pasal 12 huruf a jo pasal 12 huruf b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 KUHPidana.


Diberitakan sebelumnya, tim melakukan pengembangan atas pengaduan masyarakat (dumas) atas dugaan praktik-praktik mafia Bandar Udara (Bandara) Internasional Ngurah Rai. Sebanyak 5 orang kemudian diamankan untuk dimintai keterangannya, Selasa tadi (14/11/2023).


Hasil pengecekan langsung 

oleh tim yang dikoordinir Dedy Kurniawan, diperoleh fakta benar ada terjadinya dugaan praktik penyalahgunaan fasilitas Fast Track  dengan nominal pungutan Rp100 hingga Rp200 juta per bulan. 


"Dari jumlah tersebut, telah berhasil diamankan uang sejumlah Rp100 juta diduga merupakan keuntungan yang tidak sah diperoleh dari praktik-praktik tersebut," urai Putu Agus Eka. (ROBERTS)



Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini