Pembangunan Daerah Berdampak Negatif Jika Kotak Kosong Menang, Ini Alasannya

Sebarkan:
Ketua LPPM STIE Sultan Agung, Robert Tua Siregar
PEMATANGSIANTAR | Fenomena kotak kosong menjelang Pilkada 2020 di Indonesia saat ini semakin genjar, dimana data terakhir dari KPU Pusat ada sebanyak 27 daerah akan bertanding antara calon melawan kotak kosong. Salah satunya Kota Pematangsiantar, Sumut.

Menanggapi hal itu, Ketua LPPM STIE Sultan Agung yang juga Tim Monev LLDIKTI I, Robert Tua Siregar mengatakan bahwa ini sebuah fenomena menarik dalam demokrasi yang didasari pada UU Pilkada Nomor 10 tahun 2016.

"Apalagi tren munculnya calon tunggal meningkat dari tahun 2015 ke 2020," ujarnya kepada wartawan, Senin (14/9/2020) malam.

Dijelaskan Robert, dalam pelaksanaan pilkada dengan calon tunggal melawan kotak kosong juga memiliki kerugian sekaligus juga memberikan keuntungan. Tentunya apa yang kita akan sikapi terhadap fenomena ini?.

"Secara mendasar pembangunan harus dapat berjalan atau berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, maka akibat yang bisa kita lihat jika fenomena 'Kotak Kosong 'merajai, apa yang akan terjadi?", katanya.

Pemegang Sertifikat Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas ini mengatakan, kerugian secara demokrasi pilkada dengan model seperti ini (calon tunggal) membuat kekuatan legitimasi calon yang menang tidak begitu kuat karena partai tidak memberi alternatif kepada pemilih untuk pilihan politik.

"Pastinya ini sangat merugikan untuk secara politik bagi pendidikan politik rakyat. Kekuatan calon tunggal karena pemerintah daerah bisa dengan cepat mengambil keputusan karena parlemen dan kepala daerah itu sama. Karena semua partai mendukungnya. Sehingga apa yang dikatakan pemerintah daerah akan cepat disahkan oleh parlemen di daerah," imbuh Robert.

Menurutnya, proses dan tahapan pilkada diulang sehingga calon lain bisa mendaftar, tentunya hal ini akan merugikan daerah yang akan berpacu dengan pembangunan. Kenapa? Untuk proses ini, pemerintah sementara akan melantik Pj [Penjabat kepala daerah] akibat pengulangan pilkada yang dimenangkan kolom kosong.

"Secara aturan pemerintahan bahwa PJ yang dilantik hanya memiliki kewenangan menjalankan. Namun keputusan pada Gubernur yang memberikan SK Pj, maka segala keputusan akan tetap dikonsultasikan kepada Gubernur. Tentu hal ini akan memberi kelemahan kepada daerah yang ingin berpacu cepat terhadap proses pembangunan," terangnya.

Seperti di Pilwakot Makassar tahun 2014 lalu, lanjut Robert, tidak dilakukan langsung, melainkan menunggu pilkada serentak berikutnya, yaitu Pilkada 2020.

"Itu kelemahan kotak kosong, tetapi itu bagian dari wujud kedaulatan rakyat. Jika kotak kosong yang menang, KPU akan menggelar pemilihan pada pilkada serentak gelombang berikutnya, yaitu Pilkada 2020," katanya.

Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah yang dimenangkan kolom kosong itu akan ditunjuk Plt atau penjabat kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU Pilkada. Tapi itu jadi kewenangan pemerintah, sehingga sesuai mekanisme akan menentukan siapa Plt itu, dan berapa lama (menjabat Plt) itu jadi kewenangan pemerintah.

"Warga boleh kampanyekan Calon Tunggal vs Kolom Kosong, tetapi yang perlu kita pahami keberlanjutan pembangunan daerah akan terhambat. Memang satu sisi, hal ini merupakan kehidupan demokrasi dan kritisi terhadap sistem, tetapi mari kita berpikir mana yang lebih baik kita pilih, apakah calon tunggal atau kotak kosong? Dengan segala konsekuensi," jelasnya.

Tentu dalam hal ini menjadi tugas berat juga bagi para calon tunggal untuk memberi keyakinan kepada masyarakat tentang program yang akan ditawarkan agar masyarakat yakin datang ke TPS.

"KPU juga memiliki PR berat untuk mendatangkan pemilih ke kotak suara agar tingkat partisipasi meningkat dari pilkada sebelumnya khususnya di Kota Pematangsiantar," kata Robert.

Untuk itu, paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota harus dapat memberi keyakinan kepada masyarakat, dengan tawaran program khususnya masa dan setelah pandemi Covid-19 terhadap penanganan kesehatan yang terjangkau dan handal, penguatan ekonomi saat ini dan setelah masa Covid-19.

Sebab, kata Robert, para pemilih saat ini sudah cerdas akan melihat program tersebut. Untuk itu, penyampaian program calon juga harus tersampaikan kepada masyarakat apakah menggunakan media sosial, media online, cetak, radio, pengajian, gereja dan lain lain.

Ia harapkan paslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota dapat dengan optimal memberi penyampaian program yang realistis dan dapat dikerjakan.

"Mari kita sukseskan Pilkada serentak 2020 untuk keberlanjutan pembangunan daerah. Karena tujuannya mencari pemimpin yang terbaik, jelas bukan sebuah kerugian. Ekspresi konstitusional warga justru berjalan maksimal karena ada perlawanan jelas. Apalagi wargalah yang merasakan pola kepemimpinannya nanti, silahkan kita sikapi," tutupnya. (Sdy)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini