Para korban disambangi Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar Kasim (paling kanan) |
“Kami masih berada di perairan Indonesia waktu itu.
Soalnya ketika kami ditangkap, kami masih sempat merekap titik koordinat
berdasarkan GPS perahu yakni di 4356 (04.43,500-99.56,500). Tapi memang, terkadang
jarak 50 mil dari pantai Belawan, kami sering melihat patroli polisi malaysia,”
keluh kelimanya saat disambangi Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar Kasim,
Sabtu (29/6/2019).
Abdul Rahman Ritonga (38), selaku tekong Perahu Boat PB 64 KM Bunga Laut yang didampingi pada
Anak Buah Kapal (ABK) nya, Alfian (44), M Berlian (40), Danu Dirja (30), serta
Zulkifli (54), menerangkan, setelah ditangkap oleh Polisi Maritim Malaysia,
mereka dibawa ke Batumau, Penang, Malaysia. Lebih kurang 24 jam kemudian, para
nelayan itu dipindahkan kembali ke Pulau Penang yang merupakan markas polisi
Malaysia selama 48 jam.
Kemudian mereka kembali dipindahkan ke Lokal Bayanbaru
selama 14 hari. “Dua hari di penjara itu, kami bertemu dengan Bapak Edi dari Kedutaan
RI. Orang nya tinggi besar, bang, kata Danu dan beliau bertanya kepada kami
kenapa kalian bisa tertangkap, kami menceritakan semuanya kepada pak Edi
termasuk titik koordinat tadi. Lalu beliau mengecek melalui hp miliknya, dan pak
Edi mengatakan titik koordinat tersebut masih merupakan perairan Indonesia,”
kenang Abdul Rahman.
Selanjutnya, Pak Edi dari Kedutaan RI itu berjanji akan
datang kembali, termasuk mendampingi para korban di pengadilan Malaysia. “Tapi sampai
kami kembali ke rumah masing masing, tidak ada satu pun perwakilan Indonesia yang
mengunjungi kami, kecuali petugas yang datang untuk pembuatan pasport 2 minggu
setelah kami bebas menjalani hukum, yakni di penampungan imigrasi Malaysia,”
kesal Abdul Rahman diamini kawan-kawannya.
Malah, lanjut Abdul Rahman, setelah kepulangan Pak Edi
mengunjungi mereka, pihak kepolisian Malaysia justrui memarahi mereka dan
memaksa para nelayan itu untuk menerima semua Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
buatan polisi Malaysia itu sendiri.
“Mereka mengancam, kalau kami tak mengakuinya, maka kami
akan dipersulit dan akan menerima akibatnya. Terpaksalah bang, kami mengakuinya
sesuai permintaan mereka, termasuk barang bukti yang telah disiapkan. Padahal itu
bukan milik kami,” keluh Abdul Rahman yang kini terancam tidak bisa melaut lagi
akibat perahu miliknya telah dirampas oleh pihak Malaysia.
Mirisnya lagi, mereka tidak didampingi pihak Kedutaan RI
di Malaysia. Abdul Rahman dan kawan-kawan terpaksa menerima vonis 7 bulan
penjara oleh pihak Pengadilan Malaysia. “Itupun vonisna dijatuhkan ketika tidak
ada orang lain, hanya pihak pengadilan yang ada. Pengacara yang disiapkan oleh
pihak Malaysia tidak memberikan pembelaan kepada kami sebagai tersangka. Lalu setelah
vonis, kami dipindahkan ke Penjara Jiawi Seberang Perai, Penang selama 2 hari. Tanggal
10 Desember 2018 kami dipindahkan lagi ke Tapak Perak sampai selesai menjali
hukuman,” lirihnya.
Mengalami
Perlakuan Kasar
Sembari menunggu pemulangan, Abdul Rahman Ritonga dan
kawan-kawan ditempatkan di penampungan Imigrasi Perak pada tanggal 29 April 2019
selama lebih kurang 2 bulan. Di sinilah nasib mereka makin menyedihkan. Dua
dari kelima nelayan tersebut mengalami perlakuan kasar dari pihak Imigrasi Malaysia.
Berlian , misalnya. Pria kelahiran 40 tahun lalu ini
hingga saat ini masih menderita trauma sakit di kuping sebelah kiri akibat sering
mendapat perlakukan kasar. “Masih sakit, bang. Dipukul aku berulang ulang
sampai mengeluarkan darah. Gara-garanya hanya karena tugas yang mereka kasih,
aku tinggalkan sebentar. Padahal karena saat itu aku sedang sholat,” kenang
Berlian.
Lain lagi yang dialami Abdul Rahman Ritonga. “Waktu itu
aku hanya memegang terali besi penjara. Tapi aku malah dituduh mau melarikan
diri. Gara-gara itu, kaki, tangan, perut dan badanku di bagian belakang dipukul
dengan mengunakan pipa karet ukuran 1 1/2 inci. Herannya, mereka itu tak ada melihat
langsung, hanya karena mendengar dari tahanan lainnya orang Rohingnya,” kesal
Abdul Rahman.
Abdul Rahman merasa yakin, para Imigran gelap Rohingya
itu terpaksa menunjuk asalan kepadanya. “Soalnya, waktu sesudah aku dipukul dan
tak mengakui tuduhan itu, aku pun diminta menunjuk satu orang tahanan imigrasi dengan
tuduhan melarikan diri juga, tapi aku tak mau, karena memang aku tak ada niat
melarikan diri. Begitu pun, aku tetap dipaksa,” keluhnya.
Kemudian, 27 Juni 2019, Abdul Rahman dan kawan-kawan
diberangkatkan pulang tanpa pernah bertemu dengan perwakilan Indonesia. “Sampai
kami di Kualanamu, hanya dijemput sama si Lina, toke kami dan 2 orang yang
mengaku sebagai orang perikanan Langkat. Lalu kami pun jalan pulang sama si
Lina dan sampai lah kami di Brandan,” kisahnya.
Pemerintah
Indonesia Harus Protes Keras...
Atas apa yang dialami para korban, Direktur Eksekutif Rumah
Bahari, Azhar Kasim, tak tahan untuk hanya berdiam diri. Aktifis kemanusiaan
dan lingkungan hidup ini meminta pemerintah untuk melakukan protes keras kepada
Pemerintah Malaysia.
“Mendengar apa yang disampaikan oleh kelima nelayan yang
baru saja bebas ini, termasuk keterangan-keterangan dari para nelayan
sebelumnya, maka kami berpendapat modus dan gayanya hampir sama. Apa yang dilakukan
oleh pihak Diraja Malaysia tersebut, kita harus mendorong pemerintah melalui Kementerian
Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan protes keras
atas kesewenangan di atas kedaulatan Perairan Indonesia ini,” ketus Azhar.
Dia merasa khawatir, lama kelamaan nelayan nelayan
tradisional kita enggan melaut di perairan Indonesia sendiri disebabkan trauma yang
mereka alami. Perlindungan negara, menurutnya terlalu lemah. Baik ketika berada
di perairan kita sendiri, mau pun ketika para nelayan berada di Malaysia
sebagai tahanan.
“Mendengar apa yang disampaikan rekan-rekan nelayan itu, pembelaan
sama sekali tidak ada. Bahkan terjadi pembiaran oleh petugas petugas kita di Kedutaan
RI di Malaysia. Petugas kita sepertinya kehilangan nyali ketika berhadapan
dengan pihak Malaysia. Uuntuk itu saya mendorong presiden RI, dan Kementerian Luar
Negeri untuk mereformasi staf kedutaan kita. Mungkin mereka sudah terlalu lama
di sana, sehingga abai atas kewajiban mereka terhadap Warga Negara Indonesia, apakah
itu TKI, apakah nelayan nelayan kita yang dituduh memasuki perairan mereka, padahal
jelas ini penculikan,” protesnya.
Selain itu, Dinas Perikanan Langkat, katanya juga harus
pro aktif memberikan perlindungan dan memperhatikan nelayan nelayan Langkat. “Tidak
ada nya rasa empati terhadap keluarga korban penangkapan ini. Jangankan bantuan,
sekedar menyapa mereka pun sama sekali tidak ada. Saya berharap bupati dan
wakil bupati saat ini lebih peduli terhadap nasib nelayan Langkat. Apalagi
wakil Bupati Langkat, Bapak Syahafandin merupakan Ketua HNSI Sumatera Utara.
Harusnya lebih memahami kondisi nelayan, masyarakat pesisir Langkat. Bupati
sebelumnya bapak Ngogesa Sitepu sangat respek jika mengetahui hal hal seperti
ini. Ganti saja Kepala Dinas Perikanan Langkat jika tak mau pengurus nelayan
ini, jangan hanya mengurus bantuan saja,” ketusnya.(red)