Padahal yang terjadi justru narkotika golongan III yang dengan mudah diperoleh disekitar kita, dengan dampak yang tidak dapat diremehkan. Dampak dari penggunaan narkotika golongan III memang mirip dengan apa yang dialami oleh peminum alkohol, sehingga terkadang sulit dibedakan.
Namun, yang menjadi catatan penting adalah kebiasaan meminum alkohol berkecenderungan tinggi untuk “naik kelas” menjadi penyalahguna narkotika. Karenanya penting untuk dipahami bahwa narkotika golongan III yang beredar ditengah-tengah para pekerja siap menurunkan produktifitas kerja dalam industri.
Bukti nyata akan kegawatdaruratan ancaman bahaya narkotika golongan III dapat dilihat dari terbitnya Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.04.1.35.07.13.3855 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.04.1.35.06.13.3534 Tahun 2013 tentang pembatalan izin edar obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal.
Intisari dari Keputusan Kepala BPOM tersebut adalah perintah untuk menghentikan produksi dan distribusi; menarik dari peredaran; dan memusnahkan baik itu berupa bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk jadi obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni 2014. Dengan demikian maka langkah pro aktif untuk mengimplementasikan Keputusan Kepala Badan POM tersebut tetap harus dilakukan demi menyelamatkan para pekerja dari dampak buruk narkotika golongan III.
Dekstrometorfan (DXM) adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna putih dengan fungsi utama sebagai antitusif atau penekan batuk. Dekstrometorfan banyak disalahgunakan akibat beberapa faktor berikut, diantaranya mudahnya dekstrometorfan diperoleh baik di warung maupun apotek; harga dekstrometorfan yang relative murah; serta adanya persepsi yang berkembang pada pekerja yang menyebutkan bahwa dekstrometorfan “hanya” tergolong sebagai obat bebas dan relative lebih aman jika dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau psikotropika.
Padahal dekstrometorfan masuk kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni diurutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena.
Pekerja yang menyalahgunakanya biasanya mengonsumsi dekstrometorfan untuk mendapatkan efek seperti kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, mengantuk bahkan berlanjut hingga pingsan.
Penyalahgunaan dekstrometorfan, pada pekerja kebanyakan pada pemula yang baru mengenal narkotika dari ajakan, bujukan dan rayuan teman sebaya. Para pekerja untuk mendapatkan efek yang diinginkanya mengonsumsi dekstrometorfan dengan jumlah 5 hingga 10 bahkan 20 kali dosis normal dalam sekali pemakaian.
Artinya, jika dosis normal resep dokter menganjurkan untuk dikonsumsi banyak 3 kali dalam 1 hari, maka para penyalahguna dapat mengonsumsi 25 dekstrometorfan sekali pemakaian, sehingga jika dalam 1 hari terdapat 3 kali pemakaian maka 75 dekstrometorfan yang dikonsumsinya per hari. Disamping itu, yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan meng-oplos dekstrometorfan dengan minuman keras. Tentunya, dampak yang ditimbulkan sudah dapat dibayangkan, seperti yang telah disebut di atas.
Oleh karenanya Badan Narkotika Nasional terus mengajak kepada seluruh pekerja agar bersama-sama merapatkan barisan, menyatukan derap langkah, antara Badan Narkotika Nasional, Badan POM dan Ikatan Apoteker Indonesia, untuk melakukan aksi nyata menangani permasalahan narkotika, khususnya narkotika golongan III secara konsisten, agresif dan massif sesuai semangat yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009, keras terhadap pengedar-bandar-sindikat dan humanis terhadap korban penyalahgunaan narkoba. (*)
Padahal dekstrometorfan masuk kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni diurutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena.
Pekerja yang menyalahgunakanya biasanya mengonsumsi dekstrometorfan untuk mendapatkan efek seperti kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, mengantuk bahkan berlanjut hingga pingsan.
Penyalahgunaan dekstrometorfan, pada pekerja kebanyakan pada pemula yang baru mengenal narkotika dari ajakan, bujukan dan rayuan teman sebaya. Para pekerja untuk mendapatkan efek yang diinginkanya mengonsumsi dekstrometorfan dengan jumlah 5 hingga 10 bahkan 20 kali dosis normal dalam sekali pemakaian.
Artinya, jika dosis normal resep dokter menganjurkan untuk dikonsumsi banyak 3 kali dalam 1 hari, maka para penyalahguna dapat mengonsumsi 25 dekstrometorfan sekali pemakaian, sehingga jika dalam 1 hari terdapat 3 kali pemakaian maka 75 dekstrometorfan yang dikonsumsinya per hari. Disamping itu, yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan meng-oplos dekstrometorfan dengan minuman keras. Tentunya, dampak yang ditimbulkan sudah dapat dibayangkan, seperti yang telah disebut di atas.
Oleh karenanya Badan Narkotika Nasional terus mengajak kepada seluruh pekerja agar bersama-sama merapatkan barisan, menyatukan derap langkah, antara Badan Narkotika Nasional, Badan POM dan Ikatan Apoteker Indonesia, untuk melakukan aksi nyata menangani permasalahan narkotika, khususnya narkotika golongan III secara konsisten, agresif dan massif sesuai semangat yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009, keras terhadap pengedar-bandar-sindikat dan humanis terhadap korban penyalahgunaan narkoba. (*)