![]() |
| Gedung obat-obatan Dinkes Kota Tebingtinggi, Selasa, (28/10/2025). (mol/halasan r). |
Dugaan tersebut terungkap setelah sejumlah kepala Puskesmas mengaku obat-obatan yang didistribusikan oleh Dinas Kesehatan tidak bisa ditolak, meskipun tidak sesuai dengan daftar kebutuhan yang mereka ajukan. Akibatnya, banyak obat tersebut tidak digunakan dan akhirnya kadaluarsa dalam jumlah besar.
“Iya benar, kami sudah membuat surat penolakan. Tapi kata Dinas tidak bisa ditolak karena itu obat program dari Provinsi. Jadi obat itu bukan permintaan kami,” ujar Kepala Puskesmas Sri Padang, Jumat (24/10/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sebagian besar obat yang dikirim memiliki masa kadaluarsa yang sangat singkat, hanya sekitar enam bulan.
“Kalau obat yang kami ajukan justru cepat habis dan tidak ada yang kadaluarsa,” tambahnya.
Ketika disinggung mengenai data obat kadaluarsa di Puskesmas Sri Padang, dirinya membantah adanya nilai hingga Rp100 juta.
“Untuk tahun 2024, obat kadaluarsa di Puskesmas kami hanya sekitar Rp24,46 juta. Tapi kalau dihitung sejak 2021 sampai 2024, memang totalnya cukup besar. Kami hanya menjalankan perintah,” jelasnya.
Adapun jenis obat yang kadaluarsa di antaranya obat TB Paru, Malaria, obat jiwa, serum, dan vaksin, serta obat kesehatan keluarga seperti Diazepam, Metilergometrin, Oxytocin, Phenobarbital, dan Retinol (vitamin A).
Berdasarkan data yang diperoleh dari sumber internal, total nilai obat kadaluarsa di seluruh Puskesmas, UPTD RSUD Kumpulan Pane, dan Dinas Kesehatan Tebingtinggi mencapai lebih dari Rp1 miliar per 31 Desember 2024. Kondisi ini diduga telah menimbulkan kerugian bagi APBD Kota Tebingtinggi.
Menanggapi tudingan tersebut, Plt Kadis Kesehatan Kota Tebingtinggi dr. Henny Sri Hartati mengatakan masalah obat kadaluarsa sudah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir tahun 2023.
“BPK telah merekomendasikan agar Dinas Kesehatan segera mengusulkan pemusnahan obat kadaluarsa tersebut,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (27/10/2025).
Ia juga menjelaskan program obat yang didistribusikan merupakan subsidi dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, meliputi program kesehatan ibu dan anak (KIA), program TBC, program HIV, serta program kesehatan jiwa.
Terkait obat yang hanya memiliki masa berlaku sekitar enam bulan, Henny mengaku tidak mengetahui detail kadaluarsa tersebut karena proses distribusi dilakukan langsung dari provinsi ke Puskesmas.
“Jadi kita tidak tahu itu kedaluarsanya kapan. Itu obat program dari provinsi, bukan pengadaan langsung dari Dinas Kesehatan Kota,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, Dinas Kesehatan Kota Tebingtinggi disebut tengah menyiapkan usulan pemusnahan obat kadaluarsa sesuai dengan rekomendasi BPK, serta mengevaluasi sistem distribusi obat agar lebih sesuai dengan kebutuhan masing-masing fasilitas layanan kesehatan.(HR/HR).
Kasus ini menjadi sorotan karena diduga menunjukkan lemahnya sistem pengawasan dan koordinasi antara Dinas Kesehatan Kota dan Provinsi dalam mengelola program obat bersubsidi, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian keuangan daerah.(HR/HR)

