Kajati Sumut Idianto diwakili Wakajati Muhammad Syarifuddin didampingi staf saat menggelar ekspos perkara humanis Nek Ija. (MOL/Ist)
MEDAN | Untuk kesekian kalinya Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) beserta jajaran menghentikan penuntutan perkara humanis lewat pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).
‘Tiket’ RJ kali ini didapatkan wanita lanjut usia (sebut saja: Ija) yang tersulut emosi sesaat dan terlanjur memukul korban yang masih di bawah umur.
Penghentian penuntutan Nek Ija setelah Kajati Sumut Idianto diwakili Wakajati Muhammad Syarifuddin didampingi Aspidum Luhur Istighfar, Koordinator dan Kasi pada Aspidum Kejati Sumut, menggelar ekspos perkaranya secara virtual kepada JAM Pidum Dr Fadil Zumhana, Kamis (21/12/2023) dari ruang Vicon Lantai 2 Kantor Kejati Sumut Jalan AH Nasution Medan.
Ekspose perkara diterima oleh JAM Pidum Dr Fadil Zumhana melalui Direktur Oharda pada Jampidum Kejaksaan Agung RI Nanang Ibrahim Soleh.
Kasi Penkum Yos A Tarigan, Jumat (22/12/2023) mengatakan, permohonan penghentian penuntutan tersangka telah disetujui JAM Pidum Nek Ija sebelumnya ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Binjai . Reesangja semula dijerat dengan Pasal 80 Jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Yakni melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Atau Pasal 80 Ayat (1) Jo 76C UU UU Perlindungan Anak yang diancam pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan / atau denda paling banyak Rp72 juta.
Tersangka semula tidak terima dengan perbuatan teman saksi korban, Inur (juga nama samaran-red) yang menjelek - jelekkan anaknya. Nek Ija kemudian masuk ke rumah orang tua Inur dalam keadaan marah-marah dan sempat memiting leher Inur.
Saksi korban Runi (nama samaran-red) yang masih tetangga dekatnya tersebut mencoba melerai namun tersangka mendorong dan mencakar bagian dada sebelah kirinya.
“Penghentian penuntutan tersangka perkara-perkara humanis lewat pendekatan Keadilan Restoratif atau RK berdasarkan penerapan Perja No 15 Tahun 2020.
Yakni penyelesaian perkara - perkara humanis yang tidak selalu berujung pidana penjara. Namun menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Bukan sekadar pembalasan terhadap pelaku tindak pidana,” urai mantan Kasi Pidsus Kejari Deliserdang tersebut.
JPU yang menangani perkaranya kemudian secara berjenjang melaporkan perkara humanis tersebut untuk dilakukan mediasi kepada para pihak sebagaimana diamanatkan Perja tentang Keadilan Restoratif atau RJ.
Didampingi unsur penyidik, keluarga, tokoh masyarakat dan pemerintahan setempat, mediasi yang diinisiasi JPU pun membuahkan hasil. Saksi korban membuka pintu maaf kepada tersangka. “Sebaliknya tersangka berjanji tak mengulangi perbuatannya,” pungkas Yos A Tarigan. (ROBS)