Dakwaan Kabur dan Daluwarsa, PH Mangindar Simbolon Mohon Kliennya Dibebaskan

Sebarkan:




Tim PH terdakwa Mangindar Simbolon dimotori Arlius Zebua (kanan) saat menyampaikan eksepsi. (MOL/ROBERTS)




MEDAN | Tim penasihat hukum (PH) terdakwa Mangindar Simbolon dimotori Arlius Zebua, Senin (20/11/2023) di Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan memohon majelis hakim diketuai As'ad Rahim Lubis dalam amar putusan sela nantinya membebaskan kliennya dari segala dakwaan JPU.


Arlius didampingi anggotanya Agustinus Buulolo dalam nota keberatannya (eksepsi) menilai dakwaan JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) Agustini, bukan saja kabur. Tapi juga daluwarsa.


Dalam surat dakwaan JPU disebutkan, bahwa pada tanggal 26 Desember 2003 klien mereka secara bersama-sama bertindak sendiri-sendiri dengan Boluson Pasaribu, Drs Sahala Tampubolon dan Drs Parlindungan Simbolon dan seterusnya.


Bahwa pada Tahun 2000, terdakwa meminta kepada Drs Sahala Tampubolon selaku Bupati Samosir untuk menindaklanjuti janji dari Bupati Tapanuli Utara, Lundu Panjaitan untuk memberikan areal yang dicadangkan  bagi masyarakat Desa Partungko Naginjang sebagai lokasi permukiman kembali para perambah hutan sekitar Hutan Lindung serta areal pengembangan budidaya pertanian dan holtikultural.


"Surat dakwaan JPU tersebut tidak diuraikan secara cermat, tidak jelas dan tidak lengkap, kapan waktu (tempus delicti) tindak pidana itu dilakukan oleh terdakwa sehingga mengakibatkan uraian surat dakwaan menjadi kabur (obscuur libel).


Seharusnya surat dakwaan tersebut batal demi hukum, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 143 ayat 2 huruf b dan ayat 3 KUHPidana," urai Arlius.


Sebab Pasal 2 KUHPidana berbunyi, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi nama lengkap dan seterusnya. Diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.


Pada Ayat 3 berbunyi, surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b, lanjutnya,  batal demi hukum.


Bahwa surat dakwaan JPU yang menguraikan perbuatan terdakwa pada Tahun 2003 s/d 2018 kemudian pada poin berikutnya menguraikan bahwa perbuatan terdakwa pada Tahun 2000.


"Hal tersebut menimbulkan tanda tanya, mana yang sebenarnya? Apakah pada Tahun 2003 s/d Tahun 2018 atau pada Tahun 2000 waktu (tempus delicti) terdakwa melakukan tindak pidana yang dituduhkan tersebut?


Seharusnya JPU menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap dengan menyebutkan kapan waktu (tempus delicti) terdakwa melakukan tindak pidana tersebut. Apakah pada Tahun 2003 s/d Tahun 2018? Atau pada Tahun 2000? 


Bahwa apabila uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum ini dibenarkan, maka bertentangan dengan pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAPidana," tegasnya.


Selanjutnya merujuk pada pasal 143 ayat 2 huruf b dan ayat 3 KUHAPidana kemudian dihubungkan dengan surat dakwaan yang diuraikan tidak dengan cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sebagaimana kami uraikan di atas maka, imbuh Arlius, surat dakwaan JPU tersebut diberlakukan baginya pasal 143 ayat 3 KUHAPidana yaitu surat dakwaan batal demi hukum.


"Seharusnya dengan keadaan surat dakwaan yang demikian majelis hakim tidak ada keragu-raguan sedikitpun menyatakan bahwa surat dakwaan JPU terhadap terdakwa Mangindar Simbolon batal demi hukum," tegasnya.


Daluwarsa


Selain itu, perbuatan terdakwa disebutkan, dilakukan pada Tahun 2000. Maka jika benar demikian telah berlalu selama 23 tahun yang lalu. Maka seharusnya JPU tidak ada alasan hukum untuk mengajukan tuntutan pidana terhadap kliennya karena telah daluwarsa sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 78 KUHPidana.


Antara lain berbunyi, kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Bahwa apabila perbuatan terdakwa yang diduga melakukan perbuatannya pada Tahun 2003 atau Tahun 2000 dan dihubungkan dengan pasal 78 ayat (1) poin 4, maka jelas-jelas perkara yang dituduhkan kepada terdakwa telah daluwarsa.


Apabila surat dakwaan terhadap klien mereka dibenarkan, maka bertentangan dengan Pasal 79 KUHPidana yang berbunyi, tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan. Kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP  yang berbunyi, kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa. 


"Ditegaskan kembali pada Pasal 78 ayat (1) poin 4 yang berbunyi, mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun," imbuhnya.


Oleh karenanya tim PH memohon agar majelis hakim nantinya dalam amar putusan juga menetapkan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa Mangindar Simbolon tidak dapat dilanjutkan. Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan JPU. 


Sebelum As'ad Rahim Lubis menunda persidangan pekan depan untuk mendengarkan tanggapan JPU, tim PH juga menanyakan permohonan mereka tentang penangguhan atau dialihkannya status penahan Mangindar Simbolon dan ditimpali, masih dipertimbangkan majelis hakim.


Rp32,7 M


Sementara sebelumnya JPU pada Kejati Sumut menjerat terdakwa Mangindar Simbolon sebagai Kadis Kehutanan Kadishut) Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) Tahun 1999  dijerat dengan dakwaan primair, Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. 


Subsidair, Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak pidana korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Akibat perbuatannya bersama terpidana lainnya mengakibatkan kerugian keuangan atau aset negara sebesar Rp32.740.000.000. (ROBERTS)



Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini