Sakit Jantung, Penahanan Direktur PT ACR Mujianto Dialihkan

Sebarkan:

 



Majelis hakim diketuai Immanuel Tarigan, JPU dan tim PH terdakwa Mujianto. (MOL/ROBERTS)



MEDAN | Majelis hakim diketuai  Immanuel  Tarigan mengabulkan permohonan sekaligus mengeluarkan penetapan pengalihan penahanan Direktur PT Agung Cemara Realty (ACR ) Mujianto dari tahanan Rumah  Tahanan  Negara (Rutan)  menjadi tahanan kota dengan pertimbangan kesehatan terdakwa.


Penetapan pengalihan itu dibacakan dalam sidang lanjutan, Senin (15/8/2022) di hadapan JPU dari Kejati Sumut Resky Pradhana dan tim penasihat hukum (PH) terdakwa, Surepno Sarpan di Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan.


Menurut hakim, selain alasan sakit dan sudah uzur juga dipertimbangkan adanya jaminan istri, PH terdakwa, sejumlah organisasi keagamaan dan uang jaminan Rp500 juta yang dititipkan di Kepaniteraan PN Medan.


Menurut hakim dengan pengalihan tersebut diharapkan terdakwa bisa melakukan perawatan medis dan memperlancar proses persidangan. "Ini harus ditaati terdakwa sehingga persidangan bisa berjalan lancar," ujar hakim.


Pimpinan


Usai persidangan, Resky Pradhana baru mendengar penetapan pengalihan terdakwa namun belum menerima penetapan dimaksud.


"Belum kita terima penetapannya (pengalihan penahanan terdakwa Mujianto). Walau demikian waktu dekat kita akan melaporkannya ke Pimpinan," katanya datar.

 

Dakwaan Cermat


Sebelumnya, Resky Pradhana dalam repliknya menguraikan, surat dakwaan yang menjerat Mujianto dengan pasal korupsi dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah cermat dan lengkap baik secara formil maupun materil.



"Surat dakwaan JPU yang dibacakan 2 pekan lalu sudah memenuhi unsur pasal 143 KUHP tentang sah tidaknya surat dakwaan," ujarnya.


Karena itu eksepsi penasihat hukum terdakwa yang menyatakan bahwa surat dakwaan kabur, tidak cermat harus ditolak dan berharap majelis hakim menerima replik JPU dan melanjutkan persidangan dengan agenda pembuktian.


Sementara sebelumnya PH terdakwa Surepto Sarpan dalam eksepsi menyebutkan, surat dakwaan JPU yang menjerat kliennya tidak memenuhi unsur  pasal 143 KUHAPidana. 


Alasannya perbuatan yang dituduhkan tidak ada hubungannya dengan terdakwa Mujianto baik tentang kesalahan prosedur pengajuan kredit di bank sehingga menimbulkan kredit macet. "Itu semua tidak ada hubungannya dengan terdakwa," ujar Sarpan


Menurut dia, antara Canakya selaku Direktur PT Krisna Agung Yudha Abadi (KAYA) dan kliennya, Mujianto memang pernah mengikat perjanjian jual beli tanah untuk membangun perumahan Takapuna Residence di Komplek Takapuna Residence di Jalan Sumarsono, Komplek Graha Metropolitan, Kabupaten Deliserdang..


Saat itu Canakya membeli tanah milik Mujianto  seharga Rp45 miliar dengan cicilan dan akhirnya utang Canakya tersebut sudah dilunasi 25 Juni 2012


Namun JPU dalam surat dakwaannya malah menguraikan kredit macet yang dilakukan  terdakwa Mujianto dan Canakya berlangsung 3 Maret 2014. Padahal 2014 itu terdakwa tidak punya hubungan lagi dengan Canakya.


"Kalau pun ada kesalahan prosedur antara Canakya dengan pihak bank, itu bukan urusan terdakwa Mujianto. Sebab dikabulkan atau tidaknya permohonan kredit  tergantung kreditur dan debitur dan tidak ada hubungannya dengan terdakwa Mujianto," kata Sarpan.


Tentang tuduhan pencucian uang kepada terdakwa, lanjutnya, makin memperlihatkan surat dakwaan JPU  semakin kabur dan tidak jelas. Karena dengan bukti transfer JPU bisa menjerat terdakwa  dengan pasal pencucian uang tanpa melibatkan Canakya Suman.


PPATK


Selain itu JPU juga tidak melibatkan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang berapa besar kerugian negara yang dilakukan seseorang itu.


Menurut Sarpan, karena dakwaan JPU tidak memenuhi unsur pasal 143 KUHAPidana maka selayaknya hakim menolak surat dakwaan JPU tersebut sekaligus membebaskan terdakwa dari tahanan


Sebelumnya dalam surat dakwaan JPU Isnayanda, dijelaskan, terdakwa Mujianto melanggar  Pasal 5 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


Selain itu terdakwa dijerat pasal  2 ayat 1 Jo pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.


Menurut JPU, pemberian kredit KMK kepada PT KAYA tidak sesuai prosedur dan penggunaan kredit KMK oleh PT KAYA tidak sesuai peruntukannya yang menyebabkan negara rugi senilai Rp39,5 miliar. (ROBS/Rel)







Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini