3 Saksi Verbalisan Dikonfrontir dengan 3 Saksi Fakta di Sidang Korupsi Mantan Rektor UINSU dkk, Kata 'Terpaksa' Jadi Beda Penafsiran

Sebarkan:

 

Tiga saksi verbalisan dari Poldasu dihadirkan di Pengadilan Tipikor Medan guna dikonfrontir dengan keterangan 3 saksi fakta dari UINSU. (MOL/ROBS)


MEDAN | Sebagaimana perintah salah seorang hakim ketua Syafril Batubara pada persidangan pekan lalu, tim JPU dari Kejati Sumut, Senin (13/9/2021) akhirnya menghadirkan 3  saksi penyidik (verbalisan) dari Polda Sumut langsung di Cakra 2 Pengadilan Tipikor Medan.


Bigman Situmorang, Juven Telaumbanua dan Tonni Lumbantoruan dihadirkan guna dikonfrontir dengan ketiga saksi fakta dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan dalam perkara korupsi mantan  Prof Dr Saiduhrahman dan kawan-kawan (dkk).


Sebab pada persidangan pekan lalu Dedi Junaidi selaku Ketua Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP), M Jahri (Sekretaris) serta Muhammad Dahril (anggota) membantah isi keterangannya ketika menjalani pemeriksaan di Poldasu alias Berita Acara Pemeriksaan (BAP).


Yakni tentang tidak adanya kalimat bahwa mereka dipaksa oleh mantan rektor maupun Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Syahruddin Siregar (berkas penuntutan terpisah) untuk menandatangani dokumen progres pekerjaan 91,07 persen.


Majelis hakim diketuai Syafril Batubara dan Jarihat Simarmata, tim JPU dimotori Hendri Sipahutar serta tim penasihat hukum (PH) para terdakwa langsung mencecar saksi verbalisan maupun saksi fakta.


"Tidak ada diarahkan untuk memberikan jawaban atau kami paksaan secara verbal maupun nonverbal. Sesuai BAP Yang Mulia. Mereka yang bilang seperti itu (dipaksa mantan rektor dan PPK untuk menandatangani dokumen). Itu yang kita tuangkan di BAP. 


Mereka juga diberikan kesempatan membaca BAPnya," urai Bigman Situmorang dan Juven Telaumbanua secara bergantian menjawab pertanyaan Syafril Batubara.


Unsur Paksaan


Dalam kesempatan tersebut tim PH terdakwa Syahruddin Siregar, Ranto Sibarani dan Kamaluddin Pane mempertegas maksud keterangan para saksi fakta dengan kata 'terpaksa' ikut menandatangani dokumen pekerjaan.


Dedi Junaidi pun menimpali, dikarenakan mereka tidak ikut dalam rapat dan kedua terdakwa sudah menandatangani dokumen progres sesuai laporan Konsultan Manajemen Konstruksi (KMK), dalam hal ini PT Kanta Karya Utama (KKU) sebesar 91,07 persen, maka mereka 'terpaksa' menandatangani dokumen progres pekerjaan walaupun hasil pantauan visual tidak demikian adanya.




Ketiga terdakwa mengikuti persidangan secara vicon. (MOL/ROBS)



"Iya. Bagaimana saksi? Ada nggak misalnya bahasa rektor atau PPK waktu itu, jabatan saudara akan terancam bila tidak mau menandatangani dokumen progres pekerjaan. Atau misalnya keselamatan keluarga saudara terancam," kata Syafril mengambil alih pertanyaan PH.


Konteks kata 'terpaksa' tersebut hingga penghujung sidang terkesan bias. Sebab ketiga saksi kembali mengulang maksudnya bahwa mereka terpaksa ikut menandatangani dokumen tersebut karena terdakwa mantan rektor maupun PPK sudah membubuhkan tanda tangan.


Artinya di BAP para saksi, lanjut Ranto Sibarani, mereka tidak ada dipaksa untuk menandatanganinya.


"Itu kan kesimpulan saudara," timpal ketua tim JPU Hendri Sipahutar. Syafril Batubara pun menengahi, bahwa konteks kata 'terpaksa' tersebut biar diserahkan kepada majelis hakim yang menafsirkannya. 


Para PH terdakwa bisa nanti mengajukan keberatannya pada penyampaian nota keberatan (pledoi). Sidang pun dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi lainnya serta memerintahkan JPU menghadirkan ketiga terdakwa di persidangan secara video teleconference (vicon).


Mangkrak


Sementara JPU dalam dakwaannya menjerat mantan rektor, PPK serta  Direktur Utama (Dirut) PT Multikarya Bisnis Perkasa (MBP) Joni Siswoyo (masing-masing berkas penuntutan terpisah-red) tindak pidana menyuruh atau turut serta korupsi terkait proyek pembangunan Kampus II UINSU di Jalan Willem Iskandar, Pasar V, Medan Estate, Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deliserdang, Provinsi Sumut


Pemerintah Pusat merestui pagu Rp50 miliar di TA 2018. Namun pekerjaannya disebut-sebut mangkrak hingga merugikan keuangan negara Rp10,3 miliar.  (ROBERTS)






Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini