Masyarakat Nilai Hutan Produksi Akal-akalan, Pembangunan Bendungan Lau Simeme Rampas Tanah Mereka

Sebarkan:
SUMUT | Rapat Dengar Pendapat (RDP)  antara perwakilan masyarakat di empat kecamatan yakni kecamatan Biru-biru, STM Hilir, STM Hulu dan Sibolangit, perwakilan pemerintah kabupaten Deli Serdang, Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWS) II, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumut, aparatur pemerintahan setempat, PT. WIKA, akademisi USU, pemangku Raja Urung, jajaran Polsek Biru-biru
dan stake holder terkait lainnya bersama Komisi A DPRD Sumut pada Senin (11/3) siang membuka tabir baru tentang penetapan kawasan hutan produksi dan pembangunan bendungan Lau Simeme.

Keputusan (SK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 579/Menhut-II/2014 tentang penetapan kawasan hutan produksi tetap serta SK Bupati Deli Serdang N0. 2205 tanggal 23 Desember 2016 tentang penetapan lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan  Lau Simeme ternyata dinilai masyarakat sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

Pasalnya, empat kecamatan yang diklaim pemerintah sebagai hutan produksi merupakan wilayah yang telah lama dikuasai dan diusahai oleh masyarakat. Hal itu juga dibuktikan dengan kepemililikan surat penguasaan tanah baik berbentuk SK Camat hingga Sertifikat Hak Milik (SHM). Bahkan, masyarakat balik mempertanyakan tentang prosedur dan proses yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam melakukan penetapan kawasan hutan produksi tetap di wilayah mereka.

“Jadi penetapan kawasan hutan produksi di wilayah kami terlalu memaksa dan mengada-ada. Kami ada bukti kok. Kami punya surat-surat bahkan kami bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tanah kami warisan orang tua kami yang pada zaman penjajahan ikut berperang memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, klaim dari pemerintah tersebut terlalu dipaksakan dan mengada-ada,” ungkap Ketua Arih Ersada Sembol Ginting dengan keras menyuarakan kegeraman warga terdampak hutan produksi dan bendungan Lau Simeme.

Kepemilikan tanah yang sah oleh masyarakat juga diperkuat dengan adanya peta milik Belanda berjudul Tabaksondernemingen Op De Oostkust yang dalam bahasa Indonesia berarti perusahaan tembakau di pantai Timur Sumatera. Peta yang diterbitkan oleh percetakan J.H. De Bussy pada tahun 1924 di Amsterdam dengan skala 1:150.000 tersebut membagi wilayah pantai Timur Sumatera menjadi enam wilayah utama yakni Langkat, Deli, Serdang, Bedagai, Padang dan Batoe Bahara (sekarang disebut Batubara).


Kawasan yang dinyatakan oleh pemerintah sebagai hutan produksi masuk dalam wilayah Deli, tempat dimana Belanda mendirikan anak perusahaan tembakaunya yang diberinama Senembah Maatsschappij. Kehadiran dari perusahaan tersebut menandakan bahwa tanah yang dipakai Belanda merupakan tanah konsesi (red. hak pinjam pakai) dari Kesultanan Deli dalam kurun waktu yang ditentukan. Selama menjalankan bisnis tembakau, Belanda juga hidup berdampingan dengan warga lokal yang tak lain merupakan generasi sebelumnya dari warga terdampak.

Belanda juga meninggalkan bukti-bukti ekspansinya seperti pohon Duku berukuruan besar (tiga pelukan orang dewasa) yang tumbuh di Desa Kuala Dekah Kecamatan Biru-Biru kabupaten Deli Serdang. Ada juga situs Cibal-cibalen yang terletak di Dusun II Kuala Uruk Desa Kuala Dekah. Yakni sebuah situs berupa tanaman Puring yang ditanam rapi membentuk persegi panjang di tepi bukit. Menurut kepercayaan masyarakat setempat,  situs tersebut memiliki kontribusi ketika masa peperangan antara warga dengan pihak penjajah Belanda. Situs tersebut ibarat pos yang siaga mengintai dan memberitahuakan kedatangan musuh. 

Jika musuh hendak mendekat ke pemukiman warga, maka akan ada burung Elang yang terbang berputar-putar di desa, pohon yang tiba-tiba tumbang atau suara-suara aneh muncul dari situs. Beberapa situs lainnya seperti kuburan tua yang tidak dipastikan tahun pemakamannya,  pilar bekas bangunan rumah Belanda dan adanya bekas tempat pemandian putri Belanda di Desa Sari Laba Jahe menjadi saksi keberadaan masyarakat sejak puluhan tahun silam.

Bupati Deli Serdang Azhari Tambunan pun sebenarnya ikut mengakui posisi kepemilikan tanah yang sebenarnya. Hal ini diperdengarkan oleh masyarakat kepada wartawan lewat rekaman wawancara langsung salah satu stasiun radio berita swasta pada 3 Mei 2018 jelang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Deli Serdang.

“Pemeritah kabupaten Deli Serdang meminta perhatian dari pemerintah pusat agar kiranya warga masyarakat yang sudah lebih dahulu mendiami desa-desa tersebut mendapat perhatian khusus karena mereka layak mendapat ganti rugi jika proyek ini akan dilaksanakan,” ungkap Azhari dalam rekaman tersebut.

Setelah pernyataan tersebut disampaikan, masyarakat megaku kecewa kepada Azhari sebab selain diangap ikut andil dalam penujukan wilayah pembangunan bendungan, pengakuan keberadaan masyarakat oleh Azhari dinilai hanya sebatas seremonial dan tidak menunjukkan itikad baik untuk memberi solusi kepada masyarakat hingga saat ini.

Wilayah Kerajaan Urung Sinembah

Sebagai Raja Urung Sinembah Sri Diraja Serdang XIII Wan Chaidir Barus yang hadir dalam RDP heran dengan klaim pemerintah atas tanah masyarakat sebagai hutan produksi dan pembangunan bendungan Lau Simeme tanpa pembayaran ganti rugi. Ia memastikan, penetapan kawasan hutan produksi merupakan klaim sepihak,  tidak tidak terbuka kepada pubik dan merugikan masyarakat yang telah bermukim lama di sana.

Dalam sejarah, wilayah yang disebut sebagai hutan produksi dan pembangunan bendungan Lau Simeme merupakan wilayah Kerajaan Karo yakni Urung Sinembah,  Urung Tanjung Muda Hilir dan Urung Suka Piring. Kerajaa-kerajaan tersebutlah yang dahulunya memberi warna dalam sistem pemerintahan, perekonomian, hukum, sosial, budaya dan ikut dalam memperjuangan kemerdekaan di dataran tinggi Serdang (red. sekarang bernama Deli Serdang) yang mayoritas dihuni oleh masyarakat Karo.

"Salah kalau mereka bilang empat kecamatan tersebut sebagai hutan produksi. Sudah dari dulu ini wilayah kerajaan. Dalam penetapan hutan produksi ini, pernah tidak mereka berembuk dengan tokoh atau masyarakat yang jelas-jelas sudah ada sejak lama di sana," tegas Wan Chaidir.

Bahkan, Dalam buku _Georaphische En Etnoggraphicsche Gegevens Betreffende Het Rijk Van Deli (Oostkust Van Sumatera)_ yang dalam bahasa Indonesia diartikan geografis dan etnografis kerajaan Deli (pantai Timur Sumatera) Tahun 1875 karangan Halewijn E.A disebutkan bahwa lima desa yang ditunjuk oleh Bupati Deli Serdang sebagai lokasi pembangunan bendungan Lau Simeme sudah diakui menjadi bahagian dari kerajaan Sinembah. Kelima desa tersebut adalah Kotta Dinding (Mardinding Julu), Sarilaba (Sarilaba Jahe), Roemah Gerat (Rumah Gerat), Koewala (Kuala Dekah) dan Penan (Penen). Bukti-bukti tersebut yang kemudian memperkuat keyakinan masyarakat untuk tetap mempertahankan tanah yang diwarisi oleh orang tua mereka terdahulu.

Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Sumut Hj. Jamilah SH, MKn mengaku berang terhadap pengubahan status  pemukiman masyarakat tersebut.

"Apa itu hutan produksi, kawasan mana yang dibilang hutan produksi. Apa dasar mereka mengeluarkan SK Penetapan hutan produksi. Kita sudah dengar tadi bukti-bukti kepemilikan tanah mereka yang sah. Sudah turun temurun mereka di sana. Jadi, status tanah yang digunakan masih bermasalah dengan warga," cecar Hj. Jamilah.

Jikapun benar kawasan yang dikuasai dan diusai oleh masyarakat merupakan sebuah kawasan hutan produksi, Hj. Jamilah menyatakan bahwa SK dari KLHK dapat gugur sebab bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan Bab III tentang pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutanPasal 7 yang menyebutkan bahwa pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan dengan mengeluarkan bidang tanah dari kawasan hutan melalui perubahan batas hutan.

Kepala Balai Pemantapan Kawasan Pemantapan Hutan Sumatera Utara Wilayah I Sumut-Sumbar Rahman Panjaitan mengutarakan persoalan kawasan hutan produksi ini dapat diselesaikan dengan perubahan tata ruang atau proses penetapan batas kawasan hutan.

"Kita harus melewati tahapan perubahan tata ruang atau proses penetapan batas kawasan hutan," ungkapnya.

 *Tiga Keputusan Hasil RDP*

RDP yang berlangsung sejak pukul 10.20 WIB hingga 13.40 WIB menghasilkan tiga keputusan yang dibacakan oleh Ketua Komisi A sekaligus pimpinan sidang Muchri Fauzi Hafiz.

Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara akan mendesak pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan persoalan hutan produksi dan pembangunan bendungan Lau Simeme. Kedua, Ketua dan anggota Komisi A DPRD Sumut bersama masyarakat dan stake holder terkait untuk mengunjungi Kantor Staf Kepresidenan (KSP) serta melakukan tinjauan ke lokasi yang terdampak hutan produksi dan bendungan Lau Simeme.

"Ada tiga hal yang akan dilakukan. Ini merupakan angin segar untuk masyarakat serta kejelasan bagi masyarakat. Kita akan desak pemerintah pusat, kita akan ke Kantor Sekretariat Kepresidenan (KSP) dan akan tinjau lapangan ke lokasi terdampak," papar Muchri di hadapan masyarakat.(rel)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini