Ada Orang Mati Teken Surat Tanah di Kecamatan Galang

Sebarkan:
Soal Lahan Gardu Induk PLN di Desa Petangguhan

[caption id="attachment_73984" align="aligncenter" width="475"] Lahan bermasalah untuk proyek gardu induk di kecamatan galang[/caption]

Lahan gardu induk PLN di Desa Petangguhan Kecamatan Galang seluas 7.200 m2 diduga kuat dua kali pembayaran, kasusnya kini semakin terkuak.

Hasil penelusuran sejumlah wartawan pada Senin (20/3) di lokasi lahan dan keterangan sejumlah warga, alas hak yang digunakan GAS terindikasi diragukan.

Sebelumnya, GAS mengklaim lahan itu milik peninggalan orangtuanya sesuai surat yang ditanda tangani Kepala Desa Petangguhan Syamsir kala itu. Inilah yang dijadikan alat bukti saat pihak PLN melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam tahun 2015 lalu. Surat inilah yang terindikasi diragukan itu.

Pasalnya pihak PLN sebagai penggugat kala itu tak pernah mencari tahu soal kebenaran alas hak yang dimiliki GAS sebagai tergugat I yang membeli lahan dari almarhum Mojo tahun 1986 silam.

Hasil penusuran, ternyata Mojo sudah meninggal dunia sebelum tahun 1986. "Apakah alamarhum Mojo yang sudah tenang pada alamnya “bangkit” kembali hanya untuk meneken surat tanah yang diklaim GAS milik orangtuanya itu?" begitu celoteh warga.

Pada surat yang ditandatangani Kepala Desa Petangguhan, Syamsir itu menyebutkan, orangtua GAS membeli lahan dari Mojo tahun 1986 silam. Padahal menurut penuturan sejumlah warga berinisial G (77), almarhum Mojo memiliki lahan diluar gardu Induk PLN dan saat ini lahan itu dimiliki oleh Supar yang juga sudah meninggal dunia.

Menurut G, Mojo meninggal dunia sebelum pemberontakan G 30 September tahun 1965 meledak. Saat itu kata G, dirinya masih lajang dan kenal betul sosok Mojo yang tidak memiliki anak. Selain itu, pada zaman tak enak itu, tandatangan masih jarang digunakakan, masih jempol kalau membubuhkan tandatangan. Apalagi mendiang Mojo adalah buta huruf.

"Mendiang Mojo itu buta huruf, tak tau tandatangan, tapi kok bisa ada tandatangannya pada surat tanah tahun 1986 padahal beliau sudah meninggal dunia jauh hari sebelumnya,” curiganya saat melihat tandatangan mendiang Mojo pada foto copy surat lahan atas nama orangtua dari GAS.

Lanjut G, tak lama setelah Mojo meninggal dunia, istrinya pun menyusulnya dengan cara tragis yakni bunuh diri. "Setau ku, lahan itu satu surat. Pertama atas nama mendiang bermarga Ginting lalu dibeli Sodoh ADM Bagerpang, lalu bermarga Tanjung warga Tanjung Morawa dan terakhir mendiang H Sali Rajimin,” bebernya.

Untuk menguatkan indikasi keraguan surat tanah atas nama orangtua GAS, sejumlah wartawan kembali bergerak ke kediaman almarhum Supar. Dirumah permanen itu, seorang wanita duduk dikursi teras rumah.

Setelah berkenalan, wanita itu mengaku berinisial N (67) yang merupakan isteri mendiang Supar. Wanita beranak lima dan bercucu 18 orang ini mengatakan, mereka yang membeli lahan Mojo dan menguasai serta mengusahainya hingga sekarang.

Dirinya pun tak ingat persis kapan Mojo yang dipanggil dengan sebutan Mbah Mojo meninggal dunia. Namun yang pasti Mbah Mojo meninggal dunia sangat lama sebelum tahun 1986 seperti yang tertera pada surat tanah yang diklaim GAS milik orang tuanya itu.

"Kami membeli lahan dari mendiang Mbah Mojo seluas 13 rante (5200 M2). Aku berumah tangga tahun 1969. Pindah ke Desa Petangguhan Kecamatan Galang tahun 1970, mendiang Mbah Mojo sudah tua kali saat itu dan tak lama Mbah Mojo meninggal dunia, isterinya pun meninggal dunia dengan cara bunuh diri,” tegasnya.(walsa)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini