![]() |
| Keempat mantan pejabat dan staf pada BBPJN Wilayah Sumut penerima suap dari terdakwa ‘Sinterklas’ Akhirun Piliang dihadirkan sekaligus di Pengadilan Tipikor Medan. (MOL/ROBERTS) |
Yakni Stanley Cicero Haggard Tuapattinaja ketika menjabat Kepala BBPJN Sumut dan Dicky Erlangga, selaku Kepala Satuan Kerja (Kasatker) BBPJN Sumut.
Kemudian Heliyanto dan Rahmat Parulian, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Medan.
Keterangan saksi Heliyanto dinilai bias walau pun mendapatkan cecaran pertanyaan dari tim JPU, majelis hakim diketuai Khamozaro Waruwu maupun tim penasihat hukum terdakwa Kirun, selaku Direktur Utama (Dirut) PT Dalihan Na Tolu Grup (DNTG) dan anaknya, Muhammad Rayhan Dulasmi Piliang alias Rayhan selaku Direktur PT Rona Na Mora (RNM).
Saksi memang mengakui ada menerima komitmen fee sebesar Rp1,05 miliar dari tiga proyek jalan senilai sekitar Rp30 miliar yang dikerjakan perusahaan milik kedua terdakwa. Di satu sisi komitmen fee yang diterima agar proses pekerjaan proyek, tidak dipersulit.
Namun di sisi lain, saksi mengakui secara administrasi perusahaan milik terdakwa dinilai layak keluar sebagai pemenang lelang. Uang tersebut diterima sebelum dan sesudah perusahaan terdakwa memenangkan proyek peningkatan jalan. Ia menegaskan bahwa inisiatif permintaan uang berasal darinya sendiri.
Selain dirinya, staf Heliyanto bernama Umar Hadi juga menerima uang Rp143 juta dari Kirun yang disebut digunakan untuk biaya operasional kantor dan pembayaran tenaga honorer.
Heliyanto membeberkan bahwa sudah menjadi kebiasaan di lingkungan PJN Wilayah I Sumut, di mana setiap PPK mendapat “jatah” 1 persen dari nilai proyek yang dimenangkan, sedangkan Kepala Satker dan Kepala Balai mendapat bagian lebih besar.
“Ini kebiasaan. PPK dapat 1 persen dari nilai proyek, sedangkan Satker dan Kepala Balai di atas saya,” ujarnya.
Heliyanto juga mengaku menerima uang Rp115 juta dari PT Ayu Septa Perdana, yang juga mengerjakan proyek di lingkungan PJN Wilayah I Sumut. Saksi Heliyanto menyebut perintahkan oleh Kasatker Dicky Erlangga, untuk memenangkan perusahaan milik Kirun dan Reyhan.
Dalam kesempatan tersebut JPU KPK Rudi Dwiprastiono menyoroti keterangan Dicky yang dinilai berubah-ubah. “Keterangan saudara di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) berbeda-beda, dan kini di persidangan kembali berubah. Yang mana yang benar?” cecarnya.
Dicky mengaku, selama periode 2024 hingga 2025 dirinya menerima uang dari terdakwa Kirun sebesar Rp980 juta. Dari jumlah itu, ia mengaku menyerahkan Rp300 juta kepada Kepala BBPJN Sumut, Stanly Cicero Haggard Tuapattinaja. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari nilai suap yang tercantum dalam dakwaan jaksa, yakni sebesar Rp1,675 miliar.
Tidak Sesuai
Jaksa pun kembali membuka berkas catatan keuangan PT DNG yang telah disita KPK dan memperlihatkannya di hadapan majelis hakim. Namun, Dicky tetap bersikukuh pada keterangan terakhirnya di BAP, yakni hanya menerima Rp980 juta.
Hakim ketua Khamozaro Waruwu didampingi anggota majelis Yusafrihardi Girsang dan Victor pun mengambil alih pemeriksaan dikarenakan ketidaksesuaian antara keterangan Dicky dan bukti yang disampaikan saksi Mariam, Bendahara Kirun.
Dicky mengaku, selama periode 2024 hingga 2025 dirinya menerima uang dari terdakwa Kirun sebesar Rp980 juta. Dari jumlah itu, ia mengaku menyerahkan Rp300 juta kepada Kepala BBPJN Sumut, Stanly Cicero Haggard Tuapattinaja. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dari nilai suap yang tercantum dalam dakwaan jaksa, yakni sebesar Rp1.675.000.000.
Ketika dikonfrontir, Dicky membantah pernah memberi perintah. Sebaliknya Heliyanto tetap pada keterangannya, ada mendapat instruksi langsung dari atasannya, Dicky.
Di bagian lain hakim ketua memberikan statemen menohok. Perlu ada ‘pelajaran’ bagi saksi yang tidak jujur di persidangan. Hakim anggota Yusafrihardi Girsang, turut mengingatkan Dicky agar memberikan keterangan sesuai sumpahnya, karena pernyataannya bertentangan dengan dua saksi lain serta terdakwa Kirun. Meski begitu, Dicky tetap pada keterangannya.
Untuk menguji kejujuran keterangan tersebut, majelis hakim memerintahkan JPU KPK memanggil kembali saksi Mariam guna dikonfrontir ulang dengan Dicky Erlangga.
Sementara itu, saksi lain dari klaster BBPJN Sumut, Rahmad Parulian, selaku Kasatker I BBPJN periode 2023 mengaku pernah menerima uang sebesar Rp250 juta untuk pembuatan buku. Ia menyatakan telah mengembalikan seluruh uang tersebut ke kas negara dan menyerahkan bukti pengembaliannya kepada majelis hakim serta JPU KPK.
Kepala BBPJN Sumut, Stanly Cicero Haggard Tuapattinaja, juga mengakui menerima uang Rp300 juta dari Dicky. Namun, ia mengklaim tidak mengetahui asal-usul dana tersebut. Persidangan pun dilanjutkan pekan depan. (ROBERTS)

