![]() |
| Wakil Ketua DPD GMNI Sumatera Utara. (Mol/Sdy) |
Namun, di tengah perayaan yang penuh semangat nasionalisme, sebuah pertanyaan reflektif muncul, sudahkah kita benar-benar merdeka?
Seiring perjalanan waktu, bangsa ini telah menorehkan banyak cerita. Sayangnya, tidak semua cerita itu tentang kemajuan.
Narasi resmi seringkali mengagungkan pembangunan dan persatuan, sementara suara-suara dari para aktivis dan masyarakat sipil justru mengungkap kenyataan pahit, intoleransi kian menggerogoti fondasi Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam satu tahun terakhir, kasus intoleransi marak terjadi. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah persekusi terhadap jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kota Padang, Sumatera Barat.
Peristiwa yang terjadi saat mereka sedang beribadah. Ini menjadi bukti nyata bahwa hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama, masih jauh dari kata aman.
Kasus ini bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari serangkaian panjang pelanggaran yang terjadi di seluruh negeri.
Menanggapi situasi ini, Wakil Ketua DPD Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumatera Utara, Arga Manurung, angkat bicara.
"Kita ini di ambang 80 tahun merdeka, tapi mengapa kita masih sibuk berdebat soal rumah ibadah? Bukankah para pendiri bangsa sudah berjanji, bahwa di tanah ini, semua berhak hidup dan beriman? Jika kita tak mampu melindungi hak-hak dasar itu, maka kemerdekaan ini hanyalah ilusi!," ujar Arga dalam keterangannya, Jumat (8/8/2025).
Data menunjukkan, lebih dari 400 peristiwa dan 700 tindakan intoleransi tercatat di Indonesia. Angka ini mencerminkan sebuah kegagalan kolektif, dari sistem pendidikan yang abai, pembinaan masyarakat yang lemah, hingga penegakan hukum yang tumpul.
"Kondisi ini menuntut kita untuk berbenah," kata Arga.
Ada 4 poin krusial yang harus segera diperbaiki yakni:
1. Penegakan hukum yang tegas
Hukum harus ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu terhadap pelaku intoleransi.
2. Revisi aturan diskriminatif
Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah perlu direvisi karena dinilai memberikan celah legitimasi terhadap penolakan dari kelompok mayoritas.
3. Netralitas dan evaluasi FKUB
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus dievaluasi agar tidak lagi menjadi alat bagi kelompok tertentu.
4. Pendidikan toleransi sejak dini
Menanamkan nilai-nilai toleransi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan.
Di sisi lain, lanjut Arga, pemerintah juga harus mengambil langkah-langkah konkret. Kementerian Agama perlu lebih proaktif mengedukasi masyarakat tentang moderasi beragama.
Sementara, Kementerian Dalam Negeri harus memastikan kepala daerah tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
Lalu, Kepolisian dan Komnas HAM juga harus bertanggung jawab penuh dalam penegakan hukum dan pemantauan pelanggaran.
"Sudah saatnya kita menyadari bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya tentang terbebas dari penjajah, tetapi juga tentang mewujudkan keadilan, kesetaraan, dan toleransi bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Arga.
"Menanamkan nilai bahwa perbedaan adalah kekayaan dan keberagaman adalah kekuatan adalah tugas kita bersama demi Indonesia yang benar-benar merdeka dalam arti yang sesungguhnya," pungkasnya. (Sdy/Sdy)

