![]() |
| Dokumen foto advokat Roni Prima. (MOL/Anls) |
MEDAN | Potret buram figur Kompol Dedi Kurniawan (DK), salah seorang Perwira Menengah (Pamen) di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut kembali menyeruak.
Praktisi hukum asal Ibukota Jakarta, Roni Prima, Kamis (7/8/2025) mengaku pernah bersentuhan dengan DK, saat menjabat sebagai Wakapolsek Medan Helvetia, 2021 lalu.
Oleh karenanya, advokat dikenal kritis itu sependapat, memang idealnya Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjatuhkan sanksi berat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Kompol DK atas dugaan penyalahgunaan kewenangan.
Roni pernah menjadi kuasa hukum korban pemerasan diduga dilakukan Kompol DK "Kasus ini kembali jadi perhatian publik karena viral dan Saya sudah bersentuhan dengan yang bersangkutan.
Saat itu, klien Saya mengaku diperas Rp200 juta dan mobilnya, Pajero Sport, ikut dirampas. Potret buram dugaan penyalahgunaan wewenang dari DK," urainya.
Menurutnya, pelanggaran DK kala itu sudah cukup untuk menjatuhkan sanksi etik berat. Namun, alih-alih diberhentikan, DK justru bertahan dan kini menjabat Kanit I Subdit III Ditresnarkoba Polda Sumut.
"Sudah ada pelanggaran etik berat, bahkan Saya sempat bertemu langsung dengan Kabiro Paminal Divpropam Brigjend Hendra Kurniawan waktu itu semasa Kadiv Propam saat itu, Irjen Ferdy Sambo. Tapi entah kenapa, DK tidak di-PTDH. Ini yang menjadi tanya besar," jelasnya.
Roni menyayangkan lemahnya sikap internal kepolisian dalam menindak tegas anggotanya yang bermasalah.
Selain itu, Roni menegaskan, pembiaran terhadap pelanggaran seperti ini hanya akan merusak kepercayaan publik.
"Polisi yang baik masih banyak. Tapi kalau satu oknum nakal dibiarkan, yang rusak bukan hanya citra institusi, tapi juga keadilan itu sendiri. Sekarang muncul kasus baru lagi, dan pelakunya orang yang sama. Ini alarm serius bagi Polri," tegasnya.
Pada 2021 dirinya tidak membawa kasus ini ke ranah pidana. Fokus utamanya saat itu adalah memastikan hak kliennya dikembalikan.
"Yang saya kejar waktu itu hanya pengembalian uang dan mobil. Dan itu berhasil. Tapi sekarang, saya berharap tidak ada lagi kompromi. Segera PTDH. Jangan pasang badan," pungkasnya.
Demknstradi
Sebelumnya, desakan publik terhadap pemecatan Kompol DK memuncak, Jumat lalu (25/7/2025). Ratusan warga Tanjungbalai menggelar unjuk rasa di Mapolda Sumut.
Pemicu aksi adalah penangkapan Rahmadi, warga Tanjungbalai, yang dituduh memiliki 10 gram sabu-sabu.
Sebaliknya, Rahmadi (perkaranya bergulir di PN Tanjungbalai) tetap membantah kepemilikan itu. Ia menyebut narkoba tersebut diletakkan oleh petugas di dalam mobilnya, saat penangkapan yang dilakukan pada Maret 2025.
Tak hanya itu, Rahmadi mengaku dianiaya oleh tim yang dipimpin Kompol DK. Rekaman CCTV yang memperlihatkan tindakan kekerasan itu beredar luas di media sosial dan memicu gelombang kemarahan warga.
Massa, sebagian besar kaum ibu, membawa spanduk bertuliskan desakan agar Presiden Prabowo turun tangan.
Mereka menuntut Kapolri segera memberhentikan Kompol DK secara tidak hormat.
Dalam aksinya, mereka juga menggelar teatrikal pocong, simbol matinya keadilan. Dugaan praktik manipulasi barang bukti dalam kasus Rahmadi.
Pengacara Rahmadi, Suhandri Umar Tarigan, menyebut ada pelanggaran serius dalam prosedur penangkapan dan penyitaan barang bukti.
"Kalau benar barang bukti narkoba itu merupakan rekayasa, ini bukan hanya pelanggaran etik, tapi pidana berat. Ini bisa menghancurkan kepercayaan publik terhadap penegak hukum," ujar Suhandri.
Menanggapi tudingan itu, Kompol Dedi Kurniawan membantah keras. Dalam pernyataan resminya, ia menyebut seluruh proses penangkapan dan penyitaan telah dilakukan sesuai prosedur. (ROBS)

