Jon Purba (insert kanan) didampingi Hargito Bongawan (tengah) dan Zul saat menjawannoertanyaan awak media. (MOL/Tim)
MEDAN | Proses penerbitan dua Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan era Elfachri Budiman yang menjadi dasar pengembang PT Graha Sinar Mas ‘nekat’ membangun perumahan bernama Pacific Palace, diduga kuat cacat hukum.
Oleh karenanya, Jon Purba selaku kuasa hukum dari Hargito Bongawan (telah diberi kuasa Yohannes, pemilik sah lahan-red), memohon agar lembaga terkait untuk sementara menghentikan aktivitas pengembang di Jalan Tapian Nauli, Pasar I, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan.
“Baru saja tadi sebagaimana rekan-rekan media lihat di lokasi, terfaktakan bahwa lahan yang dimiliki Hargito Bongawan dan pemberi kuasa (Yohannes) diduga kuat telah diserobot pihak pengembang PT Graha Sinar Mas yang ‘nekat’ membangun perumahan bernama Pacific Palace," ujar Jon.
Jon mengaku telah menyurati Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid cq Kepala BPN Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan BPN Kota. Dia memohon agar Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) maupun surat-surat lain yang diterbitkan di areal perumahan tersebut untuk ditarik dan ditinjau kembali.
Dia juga memohon agar Kapolda Sumut Irjen Pol Whisnu Hermawan Februanto meninjau kembali laporan kliennya. Diduga kuat ada keadaan palsu pada warkah pada penerbitan dua SHGB dari Kantor Pertanahan Kota Medan.
“Agar orang yang mengajukan, menerbitkan dan menggunakan SHGB tersebut, segera ditetapkan sebagai tersangka,” tambahnya.
Dalam kasus ini, sambungnya, Yohannes membeli lahan tersebut dari ahli waris Datuk (Dt) Mansyurah, pihak pemohon yang dimenangkan pada kasasi Mahkamah Agung (MA) RI dengan nomor putusan kasasi Nomor: 423/K/Pdt/1989, pemohon kasasi ahli waris Dt Mansyurah melawan termohon kasasi Dt Syariful Azas Haberham termohon kasasi (sebelumnya penggugat pembanding-red) yang mana putusannya, menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Sebaliknya, dalam rekonvensi, gugatan para tergugat diterima. "Artinya sudah berkekuatan hukum tetap. Dimenangkan oleh alih waris Dt Mansyursyah cs. Putusannya tanggal 17 februari 1992,” katanya.
Di bagian lain, advokat asal Kota Medan dikenal kritis itu juga meminta Wali Kota Medan Rico Waas melalui instansi terkait agar segera merekomendasikan pencabutan izin pembangunan perumahan Pasific Palace maupun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
Demikian juga pembangunan perumahan agar distanvaskan atau tidak dibenarkan adanya aktivitas pembangunan apa pun. “Kepada warga masyarakat maupun perbankan lewat Kredit Pemilikan Rumah (KPR) agar hati-hati untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya permasalahan di kemudian hari,” sambungnya.
Jon Purba didampingi Hargito Bongawan dan Zul, pengamat sosial, menegaskan bahwa kliennya sebagai pemilik lahan yang sah telah bertahun-tahun terzalimi dan terus berjuang mendapatkan keadilan dan kepastian. Lahan itu dibeli adalah dari pihak yang telah dimenangkan di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) RI. Perkaranya sudah inkrah. Bagaimana bisa Kantor Pertanahan Kota Medan menerbitkan SHGB ke pihak lain?!” pungkasnya.
Satgas Mafia
Sementara Zul meminta kepada Satgas Mafia Tanah, gabungan dari Kementerian ATR/BPN, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) agar segera meninjau persoalan ini.
“Perkaranya sudah diselesaikan lewat jalur hukum dan sudah ada kepastian hukum lewat putusan kasasi agar tidak jadi preseden. Ke depan tidak ada lagi praktik-praktik menjurus mafia tanah di Kota Medan dan umumnya di Tansh Air,” tegas Zul,
Laporkan
Sementara Hargito Bongawan, selaku kuasa dari Yohannes menguraikan bahwa lahan seluas 10 hektare di Jalan Tapian Nauli, Pasar I, Kecamatan Medan Sunggal, Kota Medan dibeli dari pihak yang memenangkan sengketa. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) RI Register Nomor 423.PDT/1989.
“Tahun 1979 kami, pak Yohannes beli dari Dt Mansyursyah dan saudara-saudaranya (ahli waris Dt Sonet Maenan), sebagaimana tertuang dalam Akta Nomor 77 tentang Pelepasan Hak yang dikeluarkan pada tanggal 26 Oktober 1979, oleh Notaris W Siregar SH.
Alas hak awal atas tanah tersebut berupa Landreform Nomor 234/LR/1965, tanggal 24 September 1965 atas nama Dt Sonet Maenan sesuai dengan gambar ukur yang dibuat oleh kantor Agraria Kota Medan Nomor: PLL/NL/656/1978, tanggal 19 Juli 1978,” urainya.
Atas dasar itulah pihaknya tahun 2006 meningkatkan hak (Sertifikat Hak Milik/SHM) dan melakukan cek bersih, tidak ada masalah. Lalu kami diperintahkan menyelesaikan administrasi. Terbitlah Surat Tugas Ukur. Nah di situ lah terjadi permasalahan.
Pada saat pertengahan pengukuran (lahan/objek), ada mencegah. Katanya sudah bersertifikat. Petugas pengukuran waktu itu heran. Sebab semuanya sudah melalui prosedur. Kalau memang ada sertifikat (SHM), dari awa otomatis permohonan kami (meningkatkan hak kepemilikan) ditolak,” sambungnya.
Hargito Bongawan (kanan) saat menunjukkan dokumen kronologis pembelian yang sampai ke pengukuran lahan. (MOL/Tim)
Hargito Bongawan yang diberikan kuasa oleh Yohannes untuk mengurus kasus tersebut telah membuat laporan pengaduan ke Polda Sumut dengan nomor laporan: STTLP/B/1452/Vlll/2022/SPKT/POLDA SUMUT, tanggal 18 Agustus 2022.
Sebagai terlapor yakni Kriston Lau, Elfachri Budiman SH dan Drs Jusfin Ketaren. Kerugian pelapor atas penggunaan surat palsu itu sekitar Rp200 miliar.
Tidak Sampai di situ, dia juga pada 5 Desember 2006 membuat laporan ke Polresta Medan d/h Poltabes Medan No.Pol : LP/3863 / XII / 2006/ Tabes pada 5 Desember 2006, dengan perkara menguasai tanah tanpa hak dan pemalsuan surat dengan pelaku tindak pidana Johannes dan kawan-kawan (dkk) diduga melanggar Pasal 385 Sub 263 KUHPidana.
Dari hasil penyidikan, Polresta Medan telah melakukan penahanan terhadap dua tersangka masing-masing Kriston Law alias Acui dan Johannes Supratman, tetapi Hardi Mulyono selaku Pengawas Tanah yang dianggap menghalangi penyidikan yang dilakukan pihak Kepolisian.
“Namun sayangnya hingga saat ini yang bersangkutan sepengetahuan kami, tidak pernah diperiksa. Bagaimana bisa BPN Kota Medan menerbit 2 SHGB di atas objek milik klien kami dengan warkah fotokopi yang difotokopi. Gak ada dokumen aslinya. Negara harus hadir dalam persoalan seperti ini,” tegas Hargito Bongawan.
SHGB dimaksud yakni Nomor: 1489/ Kel Sunggal, pemegang hak Suhery dan Kriston Lau, dengan luas 22.050 M2, yang dikeluarkan tanggal 3 Januari 2004 oleh Elfachri Budiman SH, selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan.
Sedangkan SHGB Nomor:.1490/Kel Sunggal, pemegang hak Suhery dan Kriston Lau, dengan luas 54.970 M2, yang dikeluarkan tanggal 6 Januari 2004 juga oleh Elfachri Budiman SH. Bahwa SHGB 1489 dan 1490 dipecah lagi menjadi SHGB Nomor: 1545/Kel Sunggal, pemegang hak Suhery dan Kriston Lau, dengan luas 47.434 M2 yang dikeluarkan tanggal 9 Maret 2005, juga oleh Elfachri Budiman, SH (pecahan dari SHGB Nomor: 1490).
Secara terpisah, Inneke Arsyad, salah seirang staf di Bagian Tata Usaha (TU) Kantor Pertanahan Kota Medan yang dikonfirmasi awak media, Senin siang tadi (30/6/2025) mengatakan, akan mengecek permasalah penerbitan SHGB dimaksud.
“Kami harus cek dulu terkait permasalahan ini ya pak, kl sdh ada penjelasannya nanti saya sampaikan ya pak,” katanya singkat lewat pesan teks.
Wali Kota Medan Rico Waas belum menjawab pertanyaan wartawan terkait izin perumahan tersebut. Begitu pun, Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Ferry Walintukan belum menjawab juga. (Tim)