Atas Persetujuan Atasan, Hakim Tipikor Medan Belum Respon 'Clue' Bobolnya BNI Jalan Pemuda Rp36,9 M

Sebarkan:



Fernando HP Munthe SE dan debitur Tan Andyono didudukkan di bangku 'pesakitan' Pengadilan Tipikor Medan. (MOL/Opnews)



MEDAN | Suasana sidang lanjutan perkara bobolnya keuangan PT Bank Negara Indonesia atau BNI (Persero) Tbk Wilayah 01 Jalan Pemuda Medan yang mengakibatkan negara merugi Rp36.932.813.935, Jumat (21/2/2025) di Pengadilan Tipikor Medan sempat memanas.

Dalam perkara a quo, tim JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) menjadikan 2 orang sebagai terdakwa yang patut dimintai pertanggung jawaban hukumnya.

Yakni Fernando HP Munthe SE selaku Pegawai Sementara (Pgs) Senior Relationship Manager (SRM) PT BNI (Persero) Tbk Sentra Kredit Menengah (SKM) Medan dan debitur Tan Andyono (berkas terpisah), selaku Direktur PT Prima Jaya Lestari Utama (PJLU), berkas terpisah.

Giliran dua saksi dihadirkan sekaligus oleh tim JPU. Effendi Loka selaku pemenang lelang Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menjadi agunan kredit BNI Jalan Pemuda Medan dan Arie Wirathama Tandias, Komisaris PT Prima Jaya Lestari Utama (PJLU) yang juga anak dari terdakwa Tan Andyono.

Di arena sidang terdakwa Fernando HP Munthe tampak spontan berdiri dari kursinya. "Saya keberatan dengan keterangan saksi Effendi pak hakim, bukan Saya saja ke lokasi pabrik. 

Ada juga beberapa orang BNI," tegasnya saat majelis hakim diketuai Sulhanuddin mengkonfrontir keterangan saksi Effendi Loka.

Sebab sebelumnya saksi menerangkan, kecewa atas pembelian PKS yang menjadi agunan BNI sebagaimana ditawarkan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)

"Saya mengikuti lelang secara online, PKS-nya diinformasikan mampu memproduksi sawit 45 ton (minyak sawit) per jam dan ditawarkan Rp40 miliar. Saya kemudian ditunjuk sebagai pemenang lelang," urainya

Namun setelah dibeli, ternyata PKS yang menjadi objek lelang BNI tersebut tidak mampu memproduksi 45 ton per jam. Melainkan di bawah 30 ton per jam.Tidak cuma itu, mesin PKS yang dibelinya juga mengalami kerusakan cukup parah. Akibatnya, berhenti produksi untuk memperbaikinya dan menghabiskan dana Rp18 miliar.

"Apakah sebelum membeli PKS tersebut tidak di survei dulu," timpal hakim anggota Lucas Sahabat Duha. 

Menurutnya, ada 4 orang dsri BNI yang turut mendampinginya ke lokasi pabrik. Di antaranya terdakwa Fernando HP Munthe.

Clue

Saat dikonfrontir hakim ketua, terdakwa memberikan ‘clue’ skandal bobolnya keuangan di bank plat merah tersebut. Menurutnya, pencairan kredit sebesar Rp65 miliar ke PT PJLU atas persetujuan atasan. 

Namun Sulhanuddin menimpali agar keterangannya tersebut disampaikan nanti pada saat pemeriksaannya sebagai terdakwa.

Sementara saksi Arie selaku Komisaris PT PJLU menerangkan, tidak mengetahui soal pinjaman perusahaan kepada BNI. "Semua urusan perusahaan dijalankan oleh Direktur yang juga ayah Saya," ujar Arie. Persidangan pun dilanjutkan, Jumat depan (28/2/2025).

Take Over

Sementara dalam dakwaan diuraikan, sejak tahun 2014 hingga 2017 PT PJLU mendapatkan fasilitas kredit Fix Loan dari PT Bank Artha Graha Internasional Tbk Cabang Medan total sebesar Rp80 miliar.

Yakni untuk pembangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) yang terletak di Jalan Lintas Sumatera (Rantau Prapat-Aek Kanopan), Desa Kampung Pajak, Kecamatan NA IX-X, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumut.

Di tahun 2015 kemudian terjadi perubahan pengikatan kredit menyusul adanya perubahan kepengurisan di PT PJLU. Posisi Santo Ridwan sebagai Direktur digantikan terdakwa Tan Andyono.

Pada Tahun 2018, Tan Andyono bertemu dengan terdakwa Fernando HP Munthe selaku Pgs Senior SRM. Menanyakan apakah bisa mendapatkan fasilitas kredit sementara pinjaman PT PJLU di Bank Artha Graha masih belum lunas. 
 
Fernando HP Munthe pun menawarkan agar fasilitas kredit yang diperolehnya dari bank swasta tersebut dialihkan (take over). Usulan tersebut disetujui Tan Andyono berikut mengajukan penambahan kredit untuk modal membangun PMKS dengan bunga pinjaman yang lebih rendah dari PT Bank Artha Graha Internasional (Tbk) Cabang Medan. 

Pada tanggal 22 Maret 2018 terdakwa Fernando HP Munthe bersama Wayan Arifian selaku Regional Manager (RM)/ Analis Kredit, Marisi Paulina Manik selaku Credit Risk Manager (CRM), Junaidi Kholis selaku Pemimpin Kelompok Manajer Bisnis (KMB).

Ir Kusnandar Helmi selaku Pemimpin Resiko Wilayah dan Latip Suharjani selaku Pemimpin SKM Medan melakukan Kunjungan Setempat atau On The Spot (OTS) ke lokasi usaha dan lokasi jaminan atas kredit yang diajukan oleh Tan Andyono selaku Direktur PT PJLU yaitu PMKS di Jalan Lintas Sumatera (Rantau Prapat-Aek Kanopan), Desa Kampung Pajak, Kecamatan NA IX-X, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura).

Namun pihak yang dijumpai di lokasi usaha sekaligus jaminan kredit tersebut bukanlah Tan Andyono dan Arie Wirathama Tandias selaku Komisaris PT PJLU. Melainkan Nazwar Mill selaku Manager PT PJLU, Guntur selaku Askep, Mujur selaku Quality Control dan Robert / Akang selaku Kepala Sortasi PT PJLU.

Nilai persediaan dan nilai piutang yang disampaikan oleh Tan Andyono selaku Direktur PT PJLU nilainya di atas Rp5 miliar. Maka hal itu wajib dilakukan oleh Penilai Independen. Bukan oleh petugas Internal Bank.

Pernyataan yang menyampaikan bahwa kapasitas pabrik saat ini telah diupgrade menjadi 45 ton per jam dari sebelumnya masih berkapasitas 30 ton per jam, tidak didukung oleh bukti, melainkan hanya berdasarkan keterangan dari pihak PT PJLU. 

Tidak dilakukan konfirmasi dan verifikasi langsung terhadap pemasok Tandan Buah Sawit (TBS) serta berakhir kredit macet sekaligus mengakibatkan kerugian keuangan negara. (ROBERTS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini