Tokoh Buruh Sumut Minta Kebijakan Menaker Terkait JHT Dibayar Usia 56 Tahun Dicabut

Sebarkan:


DELISERDANG |
Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan penuh peserta BPJS Ketenaga Kerjaan setelah berusia 56 tahun. PP itu ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 30 Juni 2015 dan berlaku 1 Juli 2015. Dan kini menuai kontroversi di masyarakat. Bahkan, muncul petisi penolakan, diikuti aksi buruh di berbagai daerah.

Penolakan tak hanya dari kalangan buruh, bahkan pengacara kondang Hotman Paris Hutapea juga turut mengunggah penolakan terhadap peraturan pemerintah terkait pencairan JHT Buruh di usia 56 Tahun. Dalam unggahannya Hotman Paris Hutapea juga menantang Menteri Tenaga Kerja Ada Fauziah untuk debatkan hal ini. Hotman Paris minta kebijakan ini segera dicabut.

Senada dengan keinginan Hotman Paris Hutapea, Tim Pengacara Pembela Keadilan Buruh Kota Medan, Gindo Nadapdap SH, juga angkat bicara, mengatakan sebaiknya kemenaker mempertimbangkan aspirasi kalangan pekerja yang menginginkan manfaat JHT, dapat diterima pekerja setelah mengundurkan diri atau setelah di PHK. Sehingga dapat mempergunakan manfaat JHT untuk bertahan memenuhi kebutuhan hidupnya sampai kemudian mendapatkan pekerjaan baru. 

"Jadi tidak perlu menunggu usia 56 tahun. Hal ini sudah berlangsung lama, jadi tidak perlu diubah lagi.

Mengenai jaminan di masa pensiun sebaiknya Pemerintah mengembangkan  program jaminan pensiun yang juga dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan," pinta politisi Partai NasDem Sumut ini.

Sementara itu, Menurut Natal Sidabutar SH yang merupakan Sekjen SARBUKSI (Serikat Buruh Industri Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia), mengatakan, dalam program BPJS Ketenagakerjaan ada 4 program yaitu jaminan kematian,jaminan kecelakaan kerja,jaminan hari tua dan jaminan pensiun.

Nah, disinilah letak kekeliruan  Pemerintah dalam memahami jaminan hari tua dengan jaminan pensiun. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah  tidak pernah memikirkan nasib  buruh/pekerja  dan asal buat peraturan seenaknya saja dan lebih ironisnya tergantung pesanan dan tanpa pernah memahami filosofi pembuatan dan pembentukan peraturan perburuhan/ketenagakerjaan. 

Dan hal ini juga, menunjukkan ketidak konsistenan pemerintah dalam menjalankan UU. UU dapat saja dilanggar jika ada tekanan massa maupun karna adanya pesanan kelompok tertentu. Sama halnya dengan pembentukan UU No. 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja yang melanggar tata cara  pembentukan dan pembuatan peraturan perundang-undangan.

" Dan terkait  tidak sejalan Presiden Jokowi dengan Menaker saat ini dalam pembuatan Permenaker no. 2 tahun 2022 terkait pengambilan/ pencairan JHT ini sudah dapat diduga karena peraturan saat ini dijalankan atas kekuasaan dan pencitraan, sehingga perubahan yang diinginkan lebih kepada pencitraan," tegas Natal Sidabutar.(Wan)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini