Ucok dan Sanggar Perangi, Cegah Korupsi

Sebarkan:





Ilustrasi Dewi Keadilan Themis dan bocah (MOL/Ist)






Ucok dan Sanggar Perangi, Cegah Korupsi 


(Oleh: Robert Siregar, wartawan Metro.Online)





Pengantar:


Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations Organization (UNO) tertanggal 31 Oktober 2003 lalu menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Hal itu sekaligus mencerminkan praktik-praktik tindak pidana korupsi (tipikor) secara bersama-sama bukan hanya untuk diperangi tapi juga perlu mencegahnya. 


Secara efektif peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) ditetapkan sejak Desember 2005. Artinya, Kamis besok (9/12/2021) merupakan peringatan ke-16 yang mengusung tema 'Hak Anda, Peran Anda: Katakan Tidak Pada Korupsi'.


Sejumlah referensi memang memberikan definisi tentang korupsi. Mengutip wikipedia, korupsi (rasuah) atau mencuri adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain terlibat dalam tindakan itu secara tidak wajar atau ilegal, menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.


Peringatan Hakordia tahun ini mendorong pemulihan dan pengembalian aset yang dirampas, mengembangkan solusi inovatif, memajukan pencegahan melalui pendidikan, memanfaatkan keterlibatan pemuda, serta mobilisasi sekutu dalam masyarakat sipil, akademisi dan sektor swasta.


Di tahun 1995 lalu sejatinya sudah ada organisasi internasional mengusung semangat anti korupsi.  Transparansi Internasional (TI),  organisasi yang bertujuan memerangi praktik korupsi politik. TI yang keberadaannya dikenal sebagai United Nations General Assembly Special Session against Corruption disingkat dengan UNGASS.


Belakangan publik internasional menganggap Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir setiap tahunnya semacam parameter. Berisikan urutan negara-negara yang berprestasi memerangi dan mencegah praktik-praktik korupsi dengan metode angka-angka yaitu 0 hingga 100.


Hasil survey tahun 2003 mencakup 133 negara. Hasilnya menunjukan tujuh dari setiap sepuluh negara (dan sembilan dari setiap sepuluh negara berkembang) memiliki indeks 5 poin dari 10. 


Pada survey 2006 mencakup 163 negara. Indonesia berada pada peringkat 130 dengan nilai indeks 2,4. Di tahun 2007 survey mencakup 180 negara. Indonesia berada pada peringkat 145 dengan nilai indeks 2,3 poin. 


Tahun 2009 survey mencakup 178 negara. Indonesia berada pada peringkat 110 dengan nilai indeks 2,8 dan pada 2010 naik menjadi peringkat 100 dari 182 negara dengan nilai indeks 3,0.


Transparency International Indonesia (TII), salah satu gerbong dari TI, jaringan global NGO anti-korupsi pernah melansir bahwa tahun 2019 lalu kita berada pada skor 40 dan ranking 85. Ibu Pertiwi sepertinya sempat tersenyum bangga. Tidak diketahui kapan dia akan tersenyum lagi.


Sebab di tahun 2020, IPK Indonesia anjlok dengan skor 37 dan ranking 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya, sejajar dengan Gambia. 


Masalah dan Dinamika


Pada tanggal 9 Desember, bangsa dikenal dengan keheterogenan ini juga selalu memperingati Hari Anti Korupsi Indonesia (HAKI). 


Semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak masa awal Orde Baru (Orba), di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (Jawapos). Pada HUT RI Tahun 1970, Soeharto mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitmen memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar.


Di era almarhum, lahirlah Undang Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tipikor. Ancaman pidana maksimumnya, penjara seumur hidup serta denda maksimum Rp30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.


Ibarat pepatah, 'Jauh panggang dari api'. Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan malah lemah. Nyaris tak ada kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus dugaan korupsi secara independen. 


Di masa awal kepemimpinannya, ada memang Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, namun tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal. 


Angin reformasi pun berhembus kencang di bumi pertiwi ditandai dengan 'lengsernya' pemerintahan Soeharto 1998 lalu. Di masa Presiden Megawati Soekarnoputri pun lahir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2002 yang dituangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002.


Hal itu sekaligus menyahuti semangat pemerintah di masa transisi, Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). 


Di sisi lain, Produk UU Pemberantasan Tipikor pun mengalami perubahan yakni Nomor 31 Tahun 1999 kemudian UU Nomor 20 Tahun 2001. Gratifikasi (suap) melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara kemudian dimasukkan ke ranah tipikor.  


Di masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY (dua periode sejak 2004) publik di Tanah Air disuguhkan dengan pemberitaan kasus-kasus beraroma korupsi.


Seingat penulis, kasus terbilang 'wah' ketika itu, selain perkara korupsi mendera mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, sejumlah politisi pun dijadikan tersangka tipikor terkait mangkraknya pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang pada 2010-2012 lalu.


Memperingati Hakordia tahun 2021 ini,  komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam pemberantasan korupsi pun tak dipungkiri kerap dihadapkan dengan berbagai rintangan dan tantangan. 


Di awal masa pemerintahan mantan Walikota Solo itu juga perjalanan penanganan kasus dugaan tipikor berdinamika. KPK 'menciduk' Imam Nahrawi, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).


Selanjutnya 2 mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham dan Juliari P Batubara. Eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, juga sama-sama terjaring OTT oleh komisi antirasuah tersebut.


Sanggar


Dia lah Ucok. Lelaki bertubuh ceking yang masih duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar (SD). Suatu hari diajak ayahnya menemui sahabatnya semasa kanak-kanak di kampung. 


Ayahnya salah seorang guru pendidikan agama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta dan sobat masa kecilnya sebut saja Buyung, berwirausaha kuliner dan pegiat antikorupsi di kota berbeda.


Buyung pun meminta tolong kepada asistennya kerap disapa Pak Sangkot untuk menemani bocah itu melihat-lihat sejumlah koleksi di Sanggar Perangi dan Cegah Korupsi.


Di ruangan depan perlahan tapi pasti Ucok berdecak kagum dengan berbagai ukiran dari kayu jati dan perak berisikan pendapat sejumlah tokoh dari dalam dan luar negeri (wikipedia).


Kutipan dari Plato bahwa hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik mengikat hakim dan masyarakat. 


Aristoteles, filsuf terkenal asal Yunani mendefinisikan hukum menjadi dua yaitu tertentu yang menetapkan atau melarang berbagai jenis tindakan dan hukum universal yaitu hukum alam memiliki keteraturan dan pengarahan internalnya sendiri.


Ada juga ukiran pendapat Thomas Hobbes, filsuf asal Inggris bahwa hukum adalah perekat formal yang menyatukan masyarakat pada dasarnya tidak terorganisir.


Immanuel Kant menyebut hukum adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas dari orang untuk dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain, dan mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.


Ernst Utrecht adalah seorang pakar hukum asal Indonesia, mengutip dari buku Dasar-Dasar Ilmu Hukum (2000) karya Prof Chainur Arrasjid menyatakan bahwa hukum menurut Ernest Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar, dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu.


Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum adalah kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan bermasyarakat dan dibuat berdasarkan pada keadilan. Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.


Filsuf asal Jerman, Gustav Radbruch yang menyatakan hukum harus mengandung 3 nilai identitas, yaitu asas kepastian hukum, keadilan serta asas kemanfaatan hukum.


Agak ke dalam ruangan, pandangannya dimanjakan dengan beberapa lukisan para mantan pemimpin dari berbagai negara dikenal berani melakukan hal tidak biasa dalam memberantas dan mencegah praktik-praktik terindikasi korupsi (merdeka.com dan wikipedia).


Pria paruh baya itu menceritakan sosok Felipe Calderon, Presiden Meksiko (1 Desember 2006 hingga 30 November 2012) yang memecat lebih dari 4.500 anggota polisi disebut-sebut terkait rasuah, penyalahgunaan jabatan dan kejahatan terorganisasi.


Mantan Presiden Liberia ke-24 Ellen Johnson Sirleaf (2006 hingga 2018) dikenal paling garang dalam memberantas korupsi. Wanita itu bahkan memecat anaknya sendiri bersama 45 pejabat lainnya sebab tidak menyerahkan daftar kekayaan kepada komisi antirasuah. 


Baru menjabat sebagai Presiden Peru Ollanta Humala (2011 hingga 2016) langsung membuat hantaman besar di lembaga kepolisian. Dia memecat 30 dari 45 jenderal polisi, termasuk Kepala Kepolisian di republik tersebut.


Lukisan di sebelahnya, lanjut pak Sangkot, Presiden Korea Selatan Lee Myung Bak (2008 hingga 2013) pernah memerintahkan kepolisian untuk menangkap kakaknya sendiri, Lee Sang Deuk, juga anggota parlemen karena dituduh menerima suap Rp4,9 miliar dari direktur dua bank bermasalah. 


Selanjutnya mantan Presiden Filipina Benigno Aquino III dan jajarannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memerintahkan penahanan terhadap eks Presiden Gloria Macapagal Arroyo disebabkan dugaan penyalahgunaan dana lotere nasional sebesar Rp84 miliar. Dia juga memecat sembilan pejabat di kantor lotere nasional. 


Presiden China Hu Jintao dua periode (2003 hingga 2013) tidak main-main dalam pemberantasan korupsi di negaranya. Saat terpilih, dia bersedia menyiapkan 1.000 peti mati untuk para koruptor dan satu peti mati buat dirinya jika terbukti melakukan korupsi. Sebuah janji sangat berani sebab Negeri Tirai Bambu itu memang menjatuhkan hukuman mati pada pelaku korupsi.


Dewi Keadilan


Pandangan Ucok tidak lekang dari ukiran patung replika Themis, mitologi terkenal dari Yunani yang menggambarkan sosok Dewi Keadilan.


Patung dilapisi gading itu berdiri kokoh persis di tengah ruangan utama sanggar milik pak Buyung. Sepertinya dia langsung jatuh hati dengan kharisma dewi tersebut.


Dalam perjalanan pulang, Ucok begitu bersemangat menceritakan kembali perjalanan penegakan hukum dalam pemberantasan dan pencegahan tipikor di sanggar milik pak Buyung tersebut berikut sosok Themis.


Kedua mata dewi itu ditutup sembari memegang timbangan, tangan lainnya memegang pedang bermata dua. Penutup mata mewakili sikap tak pandang bulu dan objektivitas hukum. Artinya, tak membiarkan faktor-faktor luar seperti politik, ketenaran atau kekayaan mempengaruhi keputusannya.


Timbangan mewakili kewajiban dan ketidakberpihakan hukum dalam menimbang bukti yang dihadirkan ke pengadilan. Pedang sebagai simbol penegakan dan penghormatan mengartikan, setelah keputusan hukum dibuat harus segera diambil tindakan. 


Pedang tidak disarungkan berarti hukum transparan dan bisa dilihat siapa saja. Sedangkan pedang bermata dua artinya bisa saja menebas kedua pihak yang terlibat kasus.


Secercah Harapan


"Aku janji, Yah. Aku akan selalu ingat pesan ayah dan ibu. Jangan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Gunakan waktu dengan sebaik-baiknya, terus belajar, tidak lupa beribadah, jujur, tidak serakah, mensyukuri, ramah, sopan dan santun. Aku janji Yah," tutur Ucok bersemangat. Gregor pun tersenyum bangga sembari menyetir mobil tuanya.


Bicara seputar tipikor idealnya secara komprehensif dari hulu ke hilir. Bila dikerucutkan lagi, intinya tergantung pada 2 aspek makro. Yakni aspek internal. Adanya keinginan maupun komitmen kita bersama. 


Aspek eksternal yaitu lahirnya produk perundang-undangan maupun peraturan lainnya tepat sasaran dan terukur. Mampu menstimulasi efek jera. Steril dari kepentingan pihak, kelompok tertentu yang punya kekuasaan dan seterusnya. Apalagi hukum bukanlah alat untuk memenjarakan orang semata.


Secercah harapan telah dititipkan ayahnya kepada si Ucok. Semoga tidak sebatas angan, khususnya menggelorakan semangat pemberantasan dan pencegahan korupsi di Tanah Air.


Semoga masih banyak lagi Ucok-Ucok lain di luar sana yang memiliki komitmen serupa. Tidak bakalan mudah tersandung kasus-kasus tipikor. Bangkitlah bangsaku. Ayo, kita bisa.












Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini