KAUMI Deliserdang Tolak Keras Permendikbudristek Nomor 31 2021, Ini Tanggapannya

Sebarkan:

KAUMI Deliserdang tuntut pencabutan Permendikbud nomor 30 tahun 2021

DELISERDANG |
Terkait kontroversi terbitnya Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 menjadi perbincangan hangat di masyarakat saat ini, beberapa pihak mengaku menolak. Di antaranya Kesatuan Aksi Umat Islam (KAUMI) Deliserdang.

Ketua DPC KAUMI Deliserdang, Azhanul Sauty dalam siaran persnya dilansir metro-online.co, Kamis (11/11/2021) menyebutkan, penolakan terhadap diberlakukannya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, karena seolah olah  ada proses kesempatan perzinahan dalam muatan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu.

"Muatan Permendikbudristek tersebut bertentangan dengan norma-norma agama, Pancasila dan budaya di Negara ini. Islam jelas-jelas sama sekali tidak membenarkan hal-hal tersebut terjadi sebelum pasangan itu dihalalkan dengan cara menikah. Redaksi dalam pasal tersebut ada menyebutkan apabila "Tanpa Persetujuan". Hal itu menyimpulkan, adanya proses kesempatan perzinahan yang dapat dilakukan di perguruan tinggi bagi mahasiswa dan mahasiswi yang "dilegalkan" apabila antar keduanya "mau sama mau" melakukan hal yang sangat-sangat dilarang agama. Makna yang tersirat dari redaksi tersebut akan membuka seluas-luasnya generasi muda Indonesia untuk melakukan seks bebas yang apabila itu terjadi maka  akhirnya menyebabkan bala bencana dan azab yang akan diturunkan Allah SWT tidak saja kepada si pelaku tapi juga kepada siapapun yang tinggal di bumi Alllah ini, Na'u dzbillahi Min zaalik," sebut Azhanul Sauty.

Untuk itu KAUMI Deliserdang menilai, setidaknya dalam membuat suatu peraturan haruslah dilakukan tahapan yaitu substansi, struktur dan culture. Apakah aturan yang diterbitkan tidak melanggar kebudayaan dan adab masyarakat yang dikenal dengan budaya ketimuran tanpa melanggar norma-norma agama yang ada di Indonesia. 

Selain itu, mestinya dikaji dari substansi apakah produk hukum yang diterbitkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kapatutan dan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada pada  masyarakat. Tahapan berikutnya yaitu struktur, apakah produk hukum yang dihasilkan tidak bertentangan dengan peraturan yang telah ada sebelumnya.

Seperti pada pasal 5 Ayat (2) huruf l dan M. Pada huruf tersebut tercantum pengertian tentang kekerasan seksual yang dibatasi yaitu tanpa persetujuan korban.

Pengaturan terkait tindak pidana asusila di Indonesia dapat ditemukan dalam BAB XIV buku II dan BAB VI, buku III kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang antara lain mengatur mengenai perzinahan, pencabulan, perkosaan dan tindak pidana terhadap kesopanan kesusilaan.

Sebaliknya jika ada persetujuan atau suka sama suka, hal tersebut tidak dimasukkan ke dalam kekerasan seksual.

Kalau itu yang terjadi, kata dia, terjadilah  kemunduran hukum di Indonesia.

Menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Menurut penjelasan Pasal 36 juncto pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 adalah antara lain Kekerasan seksual, masturbasi atau onani. Dengan ancaman pidana, berupa pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5 Milyar.

"Tegas saja, kami menilai produk hukum yang dihasilkanNadim Makarim melalui Permendikbudristek bertentangan dengan kepatutan dan bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ada. Kami berharap Permendikbudristek tersebut segera dicabut, sebelum masyarakat marah dan terjadi kekacauan supremasi hukum di negara yang sama-sama kita cintai ini," jelas Azhanul Sauty.

Sebelumnya, dalam keterangan pers Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ristek, Nizam di kutip dari lansiran detikcom, membantah soal tudingan yang diarahkan terhadap Permendikbud nomor 30 tahun 2021 oleh sejumlah pihak. Nizam mengatakan kalau peraturan ini dibuat sebagai pelindung yang memastikan terjaganya hak masyarakat atas pendidikan. Yang menjadi dasar lahirnya Permendikbud ini, lantaran timbul keresahan mahasiswa dan dosen soal kekerasan seksual di perguruan tinggi.

"Permendikbud nomor 30 tahun 2021 hadir sebagai langkah awal untuk menanggapi keresahan mahasiswa dan dosen. Ini diarahkan pada pemilihan hak hak sivitas akademika yang menjadi korban kekerasan seksual, agar korban dapat kembali berkarya atau berkontribusi dengan lebih aman dan optimal di kampusnya. Kami mengajak pimpinan perguruan tinggi untuk menyiapkan satgas pencegahan dan penanganan sesuai Permendikbud itu," sebut Nizam.(wan/js)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini