Belajar Dari Rumah, Pelajar SMA di Binjai Buat Karya Tulis Tentang Teras Impian Masa Depan

Sebarkan:


Elsyifa Fisalim Chan
Siswi SMA Negeri 5 Binjai



TERAS IMPIAN MASA DEPAN
Elsyifa Fisalim Chan
Siswi SMA Negeri 5 Binjai

Satu tahun enam bulan sudah pandemi covid 19 bertahta di negeri tercinta dan belahan dunia. Hampir semua sendi kehidupan manusia mengalami dampak negatif dari pandemi ini. Untuk bidang pendidikan misalnya, pola belajar tatap muka berganti menjadi pola belajar tatap layar. Interaksi sosial antara guru dan siswa, siswa dengan siswa, guru dan orang tua, seperti kehilangan makna. Sekolah menjadi ruang-ruang kosong yang sepi dari riuh rendah suara guru dan siswa.

Dengan segala daya upaya, sekolah berusaha untuk memastikan terlayaninya hak belajar siswa, termasuk SMP Negeri 14 Binjai, tempat aku menuntut ilmu sewaktu SMP. Di sekolah ini, selalu disemboyankan bahwa usaha untuk memutus mata rantai covid 19 adalah suatu keharusan, tetapi jangan sampai memutus masa depan anak bangsa. Berbagai upaya dilakukan sekolah untuk memastikan siswa tetap belajar. Beberapa aplikasi pembelajaran digunakan. Sebagai saksi hidup, aku masih ingat betul sekolah ini memulai dengan menggunakan aplikasi whatsapp, lalu berpindah menggunakan aplikasi google classroom. Berbagai jenis video pembelajaran buatan buatan diunggah ke youtube, lalu tautannya dibagi di kelas maya bernama google classroom. Karena rindu dengan wajah-wajah siswa, guru juga pernah menggunakan aplikasi zoom dan google meet. Di awal pelaksanaan kami sangat senang karena bisa bertemu di balik-balik layar. Kisah-kisah guru dalam mengajar daring di SMP Negeri 14 Binjai kemudian dibukukan dalam dua buah buku yang berjudul “Kutunggu Hadirmu di Depan Layar”, dan “Sekolah dalam Lingkaran Corona”. Membaca dua buku ini seolah membawaku ke masa-masa sulitnya belajar dalam jaringan. Bukan karena sulit menerima materi ajar atau mengerjakan tugas, tapi sulit melihat kondisi siswa yang tidak siap untuk belajar daring. Ketidaksiapannya juga bukan karena siswa tidak mau belajar, melainkan karena mereka tidak memiliki gawai dan kuota internet. Saat itu kami sering menyebutnya dengan sebutan siswa tunagawai dan siswa tunakuota. Data yang kuperoleh dari kepala SMP Negeri 14 Binjai menunjukkan bahwa terdapat 89 siswa yang tidak memiliki gawai, 127 siswa yang memliki gawai tetapi berbagi dengan orang tua dan saudaranya, hanya 199 siswa yang memiliki gawai sendiri.

Masalah tersebut tidak membuat sekolah dan guru menyerah. Di awal tahun ajaran 2021/2022, atas inisiatif beberapa siswa dan disetujui oleh pihak sekolah, dibentuklah Beranda Cerdas Produktif. Berandan Cerdas Produktif ini adalah kegiatan pembelajaran produktif bagi siswa tunagawai dan tunakuota dengan memanfaatkan teras-teras rumah orang tua siswa. Di teras-teras impian ini meraka belajar berliterasi dan berlatih berbagai keterampilan.

Aku berkesempatan mengisi kegiatan literasi di teras-teras impian itu. Sekolahku mengundangku untuk memandu adik-adik kelasku dulu untuk menulis cerpen. Aku berkunjung ke lima teras impain yang mereka sebut sebagai posko cerdas. Aku berbagi tips menulis cerpen dan menunjukkan buku antologi cerpen yang tulisanku ada di dalamnya. Terlihat tatapan rindu dari binar mata mereka. Aku yang hanya mendampingi guru saja bisa merasakan betapa rindunya mereka suasana belajar tatap muka. Sebanyak 20 (dua puluh) siswa di tiap posko terlihat antusias dalam mengikuti proses belajar praktis di teras impian itu.

Tidak cukup mengajarkan siswa berliterasi, siswa juga diajarkan tentang keterampilan kecakapan hidup. Ada lima keterampilan yang dilatikahkan, yaitu keterampilan dari bahan lilin, keterampulan anyaman bambu, berlatih ternak burung puyuh, membuat sabun cuci piring, dan membuat roket air. Semua kegiatan dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan. Mereka memakai masker, mencuci tangan, dan mengatur jarak.

Aku berkesempatan mewawancarai salah seorang siswa yang belajar di teras impian itu. Ternyata dia adalah satu siswa tunagawai atau tidak memiliki gawai. Namanya Sapta siswa kelas 8. Ayah dan ibunya hanya penjual sayur keliling. Selama satu tahun ini dia sama sekali tidak pernah mengikuti belajar daring yang dibuat oleh sekolah. Dia hanya sesekali mengerjakan tugas dan ujian yang dia dapat dari temannya. Ketika aku bertanya apa kegiatan yang dilakukannya selama ini, jawabannya sungguh sangat menyedihkan. Ternyata selama ini dia membantu ekonomi orang tuanya dengan menjadi badut di lampu merah. Selama satu tahun itu dia lakoni. Melenggak-lenggok dengan iringan musik di bawah terik matahari menjadi hal yang biasa baginya. Sejak pandemi ini memang banyak bertebar anak-anak usia sekolah yang menjadi badut di setiap lampu merah. Entah karena mereka jenuh menunggu waktu belajar tatap muka yang tak kunjung tiba, entah juga karena tuntutan ekonomi keluarga. Yang jelas, mereka ada di teras impian ini sebagai bukti bahwa mereka masih ingin memperbaiki kualitas hidupnya. Mereka ingin hidup yang lebih baik. Mereka ingin sejahtera. Mereka juga ingin merdeka; merdeka dari kebodohan dan kemiskinan.

Teras-teras impian atau beranda cerdas produktif ini merupakan pelayanan bagi siswa yang tidak punya gawai. Menurutku ini bukan blended learning, karena blended learning adalah perpaduan antara pembelajaran daring dan luring. Siswa-siswi di teras impian ini mengkin mengalami kesulitan untuk belajar campuran (blended learning) karena mereka tidak punya fasilitas pendukung.

Beranda cerdas produktif atau yang kusebut teras impian ini adalah bentuk alternatif memulihkan semangat belajar siswa di tengah kelesuan bahkan kehilangan semangat belajar. Mengajarkan mereka tentang bagaimana bertahan hidup dengan kemampuan literasi dan pelatihan kecakapan hidup adalah suatu terobosan yang patut untuk diapresiasi. Pembelajaran jarak jauh dengan moda daring adalah baik untuk dilaksanakan di masa pandemi ini, tetapi memaksakannya kepada siswa yang tidak memiliki fasilitas pembelajaran daring adalah sesuatu yang tidak bijak. Mendatangi siswa, bukan menunggu di sekolah kiranya menjadi langkah nyata yang harus dilakukan oleh sekolah untuk memastikan tidak terjadinya kekhawatiran akan hilangnya proses pembelajaran yang bermuara pada hilangnya generasi bangsa. Dari Taras impian ini mereka bermimpi, dari teras impian ini mereka berusaha mengukir asa untuk masa depan.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini