Regulasi Dana Desa, Mau Menegak Hukum atau Mau Meneguk Untung?

Sebarkan:

Oleh : Mahyuddin Kubar (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIP Lhokseumawe dan juga Presidium KAHMI Aceh Timur


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adapun gambaran desa ideal yang dicita- citakan dalam Undang-Undang Desa adalah desa yang kuat, maju, mandiri dan demokratis. Cita-cita dimaksud diwujudkan salah satunya dengan menyelenggarakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Fokus dari kerja pemberdayaan masyarakat desa adalah mewujudkan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan dan desa sebagai subyek hukum yang berwewenang mendayagunakan keuangan dan aset desa.

Sementara, Dana Desa (DD), yang bersumber dari APBN merupakan salah satu bagian dari pendapatan desa. adapun tujuan Pemerintah menyalurkan DD secara langsung kepada desa adalah agar desa berdaya dalam menjalankan dan mengelola untuk mengatur dan mengurus prioritas bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Untuk itu, penggunaan dana desa diharapkan agar tepat sasaran on the track, serta dapat dikawal dengan ketat agar tidak menyalahi aturan dalam penggunaannya.

Seiring waktu, sejak pertama kali pada tahun 2015 mulanya dikucurkan, dana desa semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2021 misalnya, pemerintah mengalokasikan dana desa Rp 72 triliun, angka ini naik bila dibandingkan tahun ini yang sebesar Rp 71,2 triliun.

Pengawasan secara internal, penyaluran DD diawasi oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Walau anggaran yang dikucurkan begitu besar, banyak pihak meyakini pengawasan sangat maksimal.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati misalnya, ia mengatakan, proses pengawasan dilakukan sejak penyaluran dana dari APBN. Pencairan dana desa dilakukan lewat Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan diteruskan ke rekening kas desa.

"Dalam (pengawasan) dana Desa juga ada Kemendes, tenaga pendamping desa, juga saat ini dari Kepolisian, Kejaksaan ikut dampingi,” ujar Sri Mulyani seperti dilansir Inews.id pada Rabu (9/9/2020) kemarin, saat rapat dengan Komite lV DPD RI.

Tak hanya itu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu juga turut mengajak masyarakat ikut mengawasi penggunaan dana oleh aparat desa. Dengan begitu, penggunaan dana desa diharapkan akan tepat sasaran.

Namun, walau ajakan pengawasan itu sangat tepat, dan pengawasan dilevel atas dianggap telah memenuhi syarat, bukan pula berarti menjadi suatu jaminan bahwa pengawasan di level bawah juga ikut ketat.

Semua masih bisa mungkin terjadi, selagi ayam mau memakan jagung. Artinya apa, penggunaan anggaran di luar prosedur maupun praktik memperkaya diri masih mungkin bisa terjadi, baik secara personal maupun berjamaah. Kalau fungsi pengawasan anggaran sudah lagi tidak berjalan sesuai dengan regulasi yang ada.

Rakyat desa/gampong tentu berharap agar dana desa bisa selamat, program prioritas pembangunan masyarakat desa juga tidak terhambat dengan praktik yang cenderung kearah korupsi.

Untuk itu aturan harus dijalankan, baik aturan dari Kementerian Dalam Negeri, juga Kementerian Desa maupun regulasi lainnya yang telah ada, harus tegak berdiri agar tidak dikebiri oleh oknum-oknum yang nakal untuk menilip dana desa.

Jika niat ingin menegak hukum, dan bukan untuk sekedar meneguk untung di Dana Desa, maka regulasi dari berbagai kementerian sudah tentu wajib untuk dijalankan. Semua tentu harus mengacu pada aturan maupun Surat Edaran dari Kementerian dalam setiap pelaksanaan.

Seperti Peraturan Menteri Keuangan misalnya, yakni nomor 40 tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenkeu 205 tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa.

Seperti kebijakan refocusing anggaran di tengah pandemi COVID-19 dan Pengelolaan Dana Desa yang direspon oleh Pemerintah.

Kementerian Keuangan menerbitkan Permenkeu 40 tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenkeu 205 tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Karena dianggap pandemi Corona Virus sangat membahayakan perekonomian dan stabilitas keuangan, karena protokol kesehatan yang mengharuskan jaga jarak, karantina, dan mengurangi aktivitas kehidupan yang berakibat fatal pada kehidupan dan roda perekonomian.

Trilyunan rupiah amblas untuk menghadapi pandemi 2020 ini. Ada lagi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Aturan itu juga mengharapkan Dana Desa dapat digunakan untuk kegiatan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Bantuan Langsung Tunai Desa.

Menjadi dasar hukum Permenkeu 40 tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenkeu 205 tahun 2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. Belum lagi berbagai regulasi yang kita ketahui lainnya, yang menjadi dasar pengelolaan anggaran desa agar tepat sasaran (on the track), maupun regulasi lainnya yang menjadi dasar terkait dengan pengawasan anggaran.

Semua tentu ada referensinya jika niat kita ingin menegak hukum, namun tentu akan menjadi cerita yang berbeda jika ada yang ingin "meneguk" untung dari anggaran desa yang telah ada.

Penulis: Mahyuddin Kubar, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara FISIP Lhokseumawe, juga sebagai Presidium KAHMI Aceh Timur (said)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini