Ketahanan pangan, penting kita perhatikan demi menjaga segala bentuk ‘ancaman’ ketidak pastian global dan kabar gelombang kedua pandemi.
Penulis sepakat apa yang disampaikan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman, beliau mengatakan “Kalau mau kaya, masuk ke sektor pertanian”, pernyataan tersebut diberitakan oleh media kumparan.com.
Dia menambahkan informasi, bahwa sepuluh konglomerat Indonesia, itu delapan diantaranya adalah bergerak di sektor pertanian. Namun, sampai sekarang ini, profesi sebagai petani masih di pandang sebelah mata.
Banyak para orangtua, yang memaksakan pendidikan anaknya sampai ke perguruan tinggi, tujuannya hanya menjadi pegawai perusahaan dan pegawai negeri sipil (PNS).
Pada akhirnya, lahan-lahan yang luas di negeri ini, dikuasai oknum yang tidak bertanggung jawab. Di artikel sebelumnya, penulis membahas masalah pengembangan produk dalam negeri dari sektor pertanian, holtikultura, seperti cabai merah yang dikemas menjadi sampal kemasan produk Indonesia, untuk dipasarkan ke kancah internasional.
Hanya saja ada satu penghalang yang membuat para pelaku UKM dan pengusaha yang enggan untuk berkreasi produk, karena status birokrasi kita yang masih tumpang tindih. Akan tetapi, sebagai akademisi, penulis terus berkontribusi pemikiran.
Kembali lagi ke statemen mentan, “kaya jadi petani”, negara kita masih tergolong lemah bertanding di sektor teknologi. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa atas kemampuan produksi nasional yang digerakkan oleh masyarakat dalam negeri belum juga bisa maksimal.
Sebelum pandemi Covid-19, Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi dengan ekspor produk olahan industri, juga industri agro, komoditas mentah tambang dan perkebunan (terutama batu bara, sawit, karet). Kemudian, impor untuk bahan industri rakitan dan olahan serta barang setengah jadi untuk proses industri dalam negeri.
Secara umum, Indonesia masih terjebak ketergantungan teknologi, keahlian, dan keuangan asing. Sehingga, menimbulkan defisit neraca transaksi berjalan yang tinggi.
Sementara, utang luar negeri pemerintah, mencapai lebih dari Rp 6.000 triliun, belum dihitung utang BUMN dan korporasi swasta serta utang publik domestik. Untuk mengurangi ketergantungan pada utang dan keahlian asing dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan bersama pelaku pertanian, pemerintah menciptakan regulasi dan menyediakan infrastruktur memadai.
Infrastruktur sangat penting digalakkan demi lancarnya produksi pangan kita. Kita tidak bisa mengandalkan pola lama untuk menggalakkan produk pertanian kita.
Penulis membaca dari beberapa informasi di media online, negara Jepang, di sektor pertanian sangat memiliki infrastruktur teknologi yang canggih.
Misalnya, jika di Indonesia, satu hektar lahan sawah tanaman padi, membutuhkan tenaga kerja kurang lebih 5 orang. Dari mulai penyemaian, bajak sawah, menanam, perataan, irigasi sampai panen. Sedangkan di Jepang, petani padi, untuk 5 hektar lahan, hanya dikerjakan satu orang dengan alat pertanian yang canggih.
Selain di Jepang, di Amerika Serikat, sektor pertanian sangat diperhatikan, seperti yang dikatakan pengamat ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjamin, dia menceritakan pengalamannya ketika kunjungan ke petani Amerika, 70 hektar lahan kedelai, hanya dikerjakan satu orang dengan alat yang canggih.
Teknologi mempengaruhi harga jual atau Nilai Tukar Petani (NTP). Bagaimana petani bisa makmur, jika alat perang yang di gunakan belum memadai?
Ini menjadi tugas berat bagi pemerintah. Kita tidak bisa hanya mengandalkan karet, sawit, kopi, teh dan rempah-rempah saja. Buktinya, saat pandemi covid menyerang, kondisi pangan kita mengalami gangguan yang sangat kuat, bahkan terlihat lumpuh.
Sederhananya solusi dari kelemahan ketahanan pangan kita di saat pandemi ini, melalui Mentan, aktifkan kembali lahan-lahan kosong yang dimiliki perusahaan, perorangan, dengan literasi yang cerdas kepada pemilik lahan.
Kemudian, menggalakkan pembukaan keran investasi di sektor pertanian, peternakan. Dengan demikian, Indonesia dari sektor pertanian sudah aman.
Oleh: Aflahun Fadhly Siregar
Dosen Pertanian/Agribisnis UMSU

