Refleksi HMI di Usia 73 Tahun, Hidup Tanpa Tantangan Bagai Malam Tak Berbintang

Sebarkan:
ACEH TIMUR - 'Hidup tanpa tantangan bagai malam tak berbintang', sebuah refleksi kelahiran organisasi Mahasiswa tertua sejak 73 Tahun kelahirannya pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta yang didirikan Ayahanda Lanfran Pane.

Tantangan dan hambatan dalam wujud pergerakan kemerdekaan Indonesia mewarnai perjuangan sang hijau hitam tercinta.

"Berani" satu kata tentang cara pandang yang bukanlah sederhana untuk melakukan klaim atas nama Islam untuk melakukan suatu Gerakan Perubahan.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), klaim dari Lafran Pane dan kawan-kawan bahwa organisasi Mahasiswa yang mereka dirikan, dibangun landasan gerakannya dari nilai-nilai ajaran Islam.

Keputusan mengambil ajaran Islam sebagai pilihan dalam memandu gerakan perubahan, akan membawa siapapun yang ingin memahami gerakan HMI dengan terlebih dahulu mempertanyakan apa itu Islam. Siapa yang telah menciptakan ajaran Islam itu, bagaimana pola kerjanya, dan tentu saja apa tujuannya.

Tanpa memiliki pengetahuan mendalam atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, seorang anggota HMI dipastikan tidak akan memahami apa makna didirikannya HMI, bagaimana pola kerja dari HMI dan apa tujuan HMI HMI sebagai Organisasi kemahasiswaan tertua yang telah lama lalang melintang dalam reluk-reluk perjuangan membela umat, bangsa dan negara.

Usia HMI memasuki masa menua 73 tahun sejak didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 M atau bertepatan pada tanggal 14 Rabi’ul Awal 1366 H. Himpunan Mahasiswa Islam dikenal sebagai jembatan penyambung antara kaum Islam.

Tempahan Kaum intelektual muda muslim oleh HMI banyak memasuki pos-pos strategis di Pemerintahan sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, Kader HMI tidak pernah absen dalam mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan.

Akibat dari kediktatoran Rezim Orde Baru dengan memberlakukan Undang-Undang tentang Keormasan pada tahun 1983 yang mengharuskan semua organisasi untuk menggunakan asas tunggal Pancasila sebagai dasar organisasi.

Imbas dari kebijakan itu di tubuh HMI terjadi Konflik Horizontal yang berkepanjangan hingga sampai pada titik klimaksnya yaitu pecahnya HMI menjadi Dua, HMI yang menerima asas tunggal Pancasila (HMI DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal Pancasila (HMI MPO).

Kini, kedua HMI ini sedang dihadapkan dengan kondisi zaman yang laju perubahannya jauh lebih cepat dari sebelumnya. Kecanggihan teknologi dan nformasi menuntut kader-kader HMI harus cepat ambil bagian dalam melakukan perubahan dan pembaharuan baik dari segi sistem maupun praksisnya.

Tapi sayang, HMI kini telah kehilangan arah itu, kade-kader HMI lebih gemar mengikuti jejak-jejak seniornya ketimbang membuat jejaknya sendiri (menciptakan sejarah baru). Sebab HMI mengajarkan nilai independensi itu sebagai bekal bagi kader-kader untuk bisa bertahan hidup (survival) dalam kondisi apapun.

Kondisi kekinian kian dinamis, manakala dualisme HMI Dipo dengan dua sosok Ketua klaim legalitas Kemenkuham, sampai di daerah perpecahan terjadi hingga ketubuh komisariat membuat kondisi pengkaderan yang mulia luntur dan pragmatis. Hilangnya peradaban menghargai senior yang rentan dengan kepentingan elit sesaat.

Kata Perjuangan kini hanya menjadi slogan-slogan kosong yang tak memilik makna dan dampak ril untuk ummat, bangsa dan Negara. Forum Kongres, Konferensi hingga Rapat anggota Komisariat (RAK) dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan politik.

Padahal forum-forum mulia itu diselenggarakan oleh HMI untuk melakukan pertukaran ide dan gagasan para Kader dalam merumuskan langkah-langkah Dakwah HMI untuk umat, bangsa dan negara kedepan.

Revolusi Industri 4.0 adalah gelombang baru di abad ke-21 yang menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kader-kader HMI. Digitalisasi dan otomatisasi di segala sektor mempercepat laju produksi. Kreatifitas dan inovasi kader-kader HMI kedepan sangat dibutuhkan untuk menopang perjuangan HMI.

Rigiditas dan eksklusivitas pemikiran yang membuat kemunduran di tubuh HMI harus dipangkas habis hingga ke akarnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa HMI banyak melahirkan para tokoh-tokoh pembaharu, sebut saja Nur kholis Majid (cak Nur), Ahmad Wahib, Delian Noer, Dawam Raharjo dan lain-lain. Perjuangan HMI hari ini berhenti pada kecakapan retorika, kegagahan berorasi yang endingnya kompromi di atas meja penguasa. Maka lahirlah kader-kader pragmatis- oportunis yang menjadi vampir-vampir Hijau Hitam.

Insan ulil albab/insan cita HMI dan tatanan masyarkat yang diridhoi oleh Allah SWT adalah cita-cita utopis HMI yang belum terwujud hingga kini. Cita-cita mulia itu berhenti pada retorika-retorika di saat acara latihan kader I (basic training) HMI saja.

Seharusnya cita itu terpatri dalam urat nadi setiap kader HMI dan menjadi laku hidup. Kondisi HMI saat ibarat gedung tua yang pilar-pilarnya mulai keropos, dindingnya sudah bolong-bolong serta atapnya yang rapuh. Apabila gedung itu diterpa badai yang besar maka runtuhlah gedung itu.

HMI ku sayang, HMI ku malang..
Insan akademis, pencipta, pengabdi tergadaikan akan kepentinga elit dan para senior pemangku kepentingan otoritas politik.

Lagi-lagi disuguhkan dengan impian manis. Independensi bertukar intervensi sebagian golongan, namun itu semua akan diselamatkan dengan proses jantungnya organisasi "Perkaderan" dengan pola dan penanaman idelogi kearah perjuangan kelahiran Islam secara kaffah.

Semoga diusia senjanya 73 Tahun dapat kembali ke khitahnya menuju HMI umat, dan HMI Bangsa dalam menggapai cita-cita mulia melahirkan masyarakat adil, makmur yang diridhai Allah SWT.

**Penulis merupakan Aktifis HMI Rahmadhani serta pernah menjabat Ketua HMI Cabang Langsa Periode 2011-2012**(Said)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini