Oleh : Lidiyawati Harahap
Janji itu harus ditepati. Agama apapun pasti mengajarkan demikian.Namun ada yang berpesan, jangan terlalu percaya pada janji politik bila tak ingin kecewa.Janji adalah sebuah iming-iming yang akan dilaksanakan bila seseorang melakukan sesuatu tindakan. Dalam masa pemilihan umum ini, janji politik sangat laku.
Janji merupakan alat yang ampuh untuk merayu atau meyakinkan para pemilih. Janji ini biasa disebut janji politik.Janji politik merupakan gambaran visi dan misi seseorang calon pada masyarakat pemilihnya yang disampaikan pada saat kampanye.Tujuannya untuk meyakinkan para pemilih sekaligus meningkatkan popularitas . Terbukti, Janji politik ini mampu meraup suara pemilih.Namun, ketika seorang calon wakil terpilih, ia lupa akan janjinya, bahkan ada yang mengingkarinya. Ini dikarenakan janji politik sifatnya tidak mengikat.
Tidak adanya bukti atau dokumen tertulis yang memuat kesepakatan antara dua belah pihak, sehingga masyarakat pemilih tidak bisa menagih janji itu. Dan masyarakat pemilih hanya bisa menanggung sendiri rasa kecewanya. Belajar dari pengalaman tersebut, masyarakat pun tidak ingin tertipu lagi.Pada pemilu berikutnya,masyarakat pemilih mengikat calon wakilnya dalam sebuah perjanjian yang tertuang dalam kertas putih yang bermaterai yang disebut kontrak politik.
Kontrak ini dibuat secara tertulis antara calon wakil dengan para pemilih (masyarakat).
Tujuannya agar di kemudian hari kedua belah pihak tidak saling melupakan. Harapan masyarakat pemilih, dokumen ini bisa jadi bukti untuk menagih semua janji yang disepakati. Namun pada kenyataannya, Janji tinggal janji, kontrak hanya sebatas kertas yang tak berguna.
Tetap saja kontrak ini tidak mempunyai kekuatan hukum. Ini disebabkan karena tidak adanya aturan hukum yang khusus yang mengatur tentang janji atau kontrak politik ini. Akibatnya, pemerintah tidak bisa menindak pelaku ingkar janji ke ranah hukum. Karena tidak ada sanksi yang jelas atas pelanggaran ini.
Dan lagi, rakyat hanya bisa menelan kekecewaan tanpa bisa berbuat apa-apa. Ini bisa disebut ketidakadilan dalam konteks politik.Kekecewaan yang berkelanjutan ini menjadi salah satu faktor hilangnya kepercayaan masyarakat kepada calon wakilnya.
Dampaknya, masyarakat enggan untuk berpartipasi lagi dalam pemilu berikutnya. Menurunnya angka partisipasi pemilih bisa dilihat dari naiknya jumlah angka golongan putih (golput). Yakin atau tidak, kepercayaan adalah penentu partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
Pada pemilu 2009 partisipasi 71,17 % sedangkan tahun 2014 sebesar 75,11 %. Sedangkan angka golputnya pada tahun 2009 sebesar 29,01 % dan tahun 2014 sebesar 24,89 %. Bila dibandingkan angka partisipasi dan golput pada pemilu 2009 dan 2014 yang lalu, dapat disimpulkan jumlah rata-rata pemilih yang tidak ikut berpartisipasi sekitar 26,95 %. Angka 26,95 % dari 190.307.134 pemilih yang terdaftar di seluruh Indonesia. Angka ini bisa digolongkan sangat besar.
Kondisi ini dipicu oleh menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu ini sebagai wadah untuk membuat perubahan negara ini kearah yang lebih baik. Masyarakat pesimis akan perubahan bagi dirinya maupun masyarakatnya sekalipun ia harus memberikan suaranya.Memberikan kepercayaan kepada calon wakil yang dikenal saja belum tentu membawa perubahan, apalagi yang tidak kenal. Mereka akan tetap dilupakan.Bahkan lima tahun ke depan, mereka akan merasakan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kalangan bawah. Sementara wakil rakyat yang terpilih hidup dengan kemewahan. Sungguh menyakitkan.
Bila hal ini terus menerus terjadi, bisa saja mengancam kualitas demokrasi di Indonesia.
Penulis sadar bahwa janji politik bukanlah semata-mata yang menjadi faktor rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu.Ada faktor -faktor lainnya, seperti tidak terdaftarnya dalam Daftar Pemilih Tetap, kurangnya sosialisasi, tidak adanya calon yang dianggap bisa memperjuangkan aspirasi warganya dan lain-lain.
Untuk mengatasi ini, pemerintah harus segera membuat peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang janji atau kontrak politik ini. Peraturan yang nantinya akan menjadi payung hukum untuk masyarakat yang ingin menagih janjinya kepada wakilnya. Penulis mengusulkan adanya penambahan pasal dalam undang-undang pemilu yang memuat tentang kontrak politik. Pasal yang akan menjadikan kontrak politik mempunyai kuatan hukum.
Tujuannya hanya agar masyarakat mendapatkan keadilan. Sudah selayaknya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi mendapatkan keadilan.
Apalagi terpilihnya seorang calon wakil rakyat karena dukungan masyarakatnya, bukan semata-mata karena dukungan partai dan popularitas. Seharus seorang wakil tersebut memperjuangkan aspirasi masyarakat pendukungnya.
Bila ia ingkar janji maka sangat pantas diberi sanksi. Sanksi ini yang layak untuk si pengingkar janji adalah menariknya dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Karena wakil tersebut tidak memperjuangkan aspirasi masyarakatnya. Bila wakilnya tidak amanah, sudah sewajarnya harus diganti.
Pasal tentang janji politik sangat perlu dalam undang –undang pemilu. Pasal ini akan membuat para calon akan berpikir dua kali sebelum membuat kesepakatan atau kontrak dengan masyarakat pemilihnya. Janji-janji palsupun tidak asal diumbar. Andaikan sebuah kesepakatan harus terjadi, seorang calon akan menganalisa terlebih dahulu apakah kesepakatan ini sesuai dengan arah pembangunan atau tidak.
Kalau seseorang itu tak ingin dituntut dan dicopot dari jabatannya di kemudian hari. Dan ini akan memberikan efek jera kepada pemberi janji yang ingkar. Selain itu, secara tak langsung akan membentuk para wakil rakyat untuk bersikap profesionalisme dalam mengelola pemerintahan.
Untuk mengukur apakah sebuah janji itu terealisasi atau tidak, dapat dilihat dari proses pencapaian sebuah janji. Oleh karena itu perlu ada sebuah lembaga yang mengawasinya. Tentunya Bawaslu sebagai lembaga pengawasan mempunyai peran penting dalam hal ini. Bila rakyat telah mampu “menyentuh” para wakilnya secara langsung, maka para wakil rakyat akan bekerja dengan baik. Kepercayaan masyarakat pun akan tumbuh. Rasa percaya ini akan memotivasi rakyat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Karena seseorang itu akan merasa bahwa suaranya mempengaruhi kesejahteraannya. Dan angka golongan putih bisa diturunkan.
*Penulis adalah Sekretaris Umum Forum Alumni HMI-wati Padang Lawas Utara (Forhati Paluta)*