Cahaya matahari terselimuti awan pada siang memancarkan cuaca mendung di sekitaran Jalan Kayu Putih, Kelurahan Mabar, Kecamatan Medan Deli, tempat tragedi tewasnya pembunuhan sekeluarga.
Tenda teratak dengan ukuran 3X5 meter yang terpasang di depan rumah orang tua almarhum Iriyanto sudah tidak berdiri. Di lorong kecil dengan ukuran lebar satu setengah meter menuju lokasi rumah pembantaian sekeluarga tampak sudah lenggang.
Suasana keramaian yang sempat menggemparkan segala penjuru masyarakat tidak terlihat lagi di sudut lorong yang berjarak sekitar 80 meter dari jalan utama.
Rumah bercat kuning dengan pagar hitam berukuran 7X10 meter tempat pembantaian sekeluarga masih terpasang garis polisi atau police line, sesekali tampak masyarakat yang masih penasaran silih berganti melihat rumah yang menjadi saksi bisu tragedi berdarah di Mabar.
Dalam keadaan terkunci, rumah permanen itu menjadi ratapan bagi segelintir orang untuk mengenang masa hidup para korban. Dari berbagai sudut rumah tak satupun barang - barangnya berpindah tempat.
Salah satu ayuna yang terletak di teras rumah tak lagi bergoyang, benda mati yang kerap dijadikan sebagai tempat bermainnya Naya dan adiknya Gilang itu hanya mengisahkan ratapan kesedihan tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkan.
"Saya tidak tahan melihat rumah itu, biasanya saya melihat dua cucu saya sering main di ayunan, sekarang mereka sudah tidak ada lagi. Saya benar - benar sedih melihat rumah itu," ungkap ibu kandung Iriyanto, Murni dengan menetas air mata, Rabu (12/4).
Meratap dari jarak 60 meter ke arah rumah Iryanto, wanita berusia 54 dengan terduduk paku di depan pintu rumahnya tak kuasa membendung air mata, merasa kehilangan orang - orang yang disayangi.
"Biasanya kalau sore, si Gilang senang bermain Angsa. Karena mereka memelihara Angsa. Saya selalu lihat dari depan rumah sini ke arah si Gilang. Sungguh tega kali yang habisi cucu saya," Tangis Murni mengenang cucunya.
Walaupun semuanya telah pergi karena dikehendaki Yang Kuasa, Murni seakan tak percaya dengan peristiwa yang telah menewaskan anak cucunya.
Murni sesekali menghapus air matanya seakan tak percaya dengan musibah tragis itu, wanita bercucu ini hanya bisa meratap kesedihan dengan rumah yang dibangun oleh suaminya semasa Iriyanto masih memiliki satu anak.
"Kalau saya lihat rumah itu, seakan mereka masih ada, saya benar - benar tak tahan lihat rumah itu. Biarlah rumah itu menjadi kenangan bagi saya," ungkap Murni dengan nada tersedak - sedak.
Begitupun, rumah yang kini masih dalam pengawasan pihak kepolisian, Murni tak ingin rumah itu dijual kepada orang lain, dirinya tetap menginginkan rumah itu menjadi saksi bisu kematian anak, menantu dan cucunya.
"Sampai kapan pun rumah itu tidak akan dijual, kalau barang di dalam biarlah keluarga istri anak saya yang bersihkan," ungkap Murni di depan rumahnya.
Kenangan lain juga dirasakan tetangga dekat korban pembantaian, Syariah yang bertetangga sebatas dinding merasa kehilangan Yani yang selalu menemani dan menjadi teman bersenda gurau.
Wanita yang akrab disapa Isah mengaku, Yani selama ini tak hanya tetanga biasa, melainkan sudah dianggap saudara. "Kalau saya buka pintu dapur, saya tak percaya kejadian itu ada. Saya merasa mereka masih ada, karena setiap di dapur saya sering diberi kue sama si Yani," kenang wanita berusia 42 tahun ini.
Memasuki hari ke 4 pasca terjadinya pembantaian sekeluarga itu, Isah tak merasakan adanya keanehan dari rumah peninggalan para korban.
"Kalau aneh tidak ada saya rasakan, biasanya setiap subuh saya selalu dengar suara dari dapur mereka buat kue, sekarang sudah tidak terdengar lagi. Makanya, kadang saya tak percaya mereka sudah tidak ada lagi," ucap Isah dengan kesibukannya di rumah. (mu-1)
