Jalan Kaki Menuju Istana Negara, Korban Kriminalisasi Kompol DK Tiba di Pekanbaru

Sebarkan:
Dokumen foto Mahmudin, akrab disapa Kacak Alonso (atas), saat mulai berjalan kaki dari kampung halamannya, Kota Tanjungbalai, Sabtu (2/8//202 dan kini, Senin (18/8/2025) telah tiba di Pekanbaru, Riau (MOL/iNews)

MEDAN | Demi mendapatkan segenggam keadilan, Mahmudin, akrab disapa Kacak Alonso, warga asal Kota Tanjungbalai, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) rela berhari-hari berjalan kaki dari kampung halamannya menuju Istana Presiden dan Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta. 

Informasi dihimpun, Kacak Alonso yang mengaku sebagai korban kriminalisasi dari oknum Kanit I Subdit III Ditresnarkoba Polda Sumut Kompol Dedi Kurniawan (DK), telah tiba di Kota Pekanbaru Provinsi Riau, Senin (18/8/2025), sehari setelah Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI.

"Hari ini sudah 16 hari saya berjalan, demi mencari keadilan di Mabes Polri dan di Istana Presiden Prabowo Subianto," ujarnya. 

Tujuannya hanya satu. Mengetuk pintu Istana Ñegara dan Markas Besar Kepolisian RI, menyampaikan tuntutan atas dugaan kriminalisasi yang dialaminya.

Perjalanan itu bukan perkara mudah. Siang ia menghadapi terik, malam menahan dingin dan hujan. Dengan spanduk bertuliskan 'Korban Kriminalisasi Kompol DK' dan berselendangkan Merah Putih, Kacak melangkah pelan namun teguh. 

Kacak menuding oknum perwira pertama tersebut, telah mengkriminalisasi dirinya. Ia dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya karena meneruskan rekaman penangkapan seorang warga bernama Rahmadi melalui pesan aplikasi WhatsApp (WA).

Dengan langkahnya yang sederhana, Kacak membawa pesan besar yakni hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat penindas. 

"Kemerdekaan 80 tahun ini jangan hanya jadi isapan jempol. Masih ada rakyat kecil yang dikriminalisasi oleh penguasa," katanya dengan suara bergetar.

Selain Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ia juga berencana mendatangi Komisi III DPR RI serta DPD RI. Harapannya, suara rakyat kecil mendapat ruang di meja kebijakan.

Dalam perjalanan, Kacak kerap menyiarkan kisahnya melalui media sosial. Dukungan moral mengalir dari warganet, tetapi respons resmi dari institusi yang dituju belum terdengar.

Di dadanya, selalu tergenggam buku Paradoks Indonesia karya Presiden Prabowo. Buku itu, katanya, menjadi pengingat bahwa perjuangan menegakkan keadilan memang tidak pernah berhenti.

Saksi atau Tersangka

Menurut Kacak, ia pernah dipanggil ke Polda Sumut dan diminta memilih menjadi saksi atau tersangka.

Ia mengaku diminta menghapus rekaman tersebut serta membuat video permintaan maaf. Menurutnya, permintaan itu dilakukan dalam kondisi tertekan.

Namun, video klarifikasi yang dibuatnya justru tersebar luas di media sosial. "Itu merugikan saya. Padahal, saya sudah kooperatif hadir ke Polda Sumut untuk menjelaskan duduk persoalannya," ujarnya. 

Tak sampai di situ, Kacak kembali diminta membuat video permintaan maaf, bahkan menyebut mobil polisi dirusak orang tak dikenal. Padahal saat kejadian sedang berada di rumah.

Percaya dengan omongan Kompol DK yang mengatakan masalah dimaksud dianggap tuntas, ia pun kembali ke Tanjungbalai. Sementara penangkapan Rahmadi, terdkwa perkara narkotika, sedang berproses di PN Tanjungbalai.

Namun, akhir Juli 2025, ia kembali bertemu dengan Kompol DK. "Saya langsung ditodong pertanyaan, “Kau mau jadi tersangka atau saksi?" kata Kacak menirukan ucapan perwira tersebut.

Kacak menolak menjadi saksi dan berujung ancaman. "Ya sudah, besok kubuat laporanmu," ucapnya lagi mengutip pernyataan Kompol DK. Tak lama kemudian, Kacak dilaporkan dengan sangkaan pelanggaran UU ITE.

"Jangan sampai rakyat kecil yang ditekan hanya karena polisi gagal menangkap bandar narkoba," pungkas Kacak.

Sementara Hans Silalahi, kuasa hukum Kompol DK menegaskan, laporan terhadap Kacak sah secara hukum. 

Hans menilai video yang disebarkan menyesatkan dan mencemarkan nama baik kliennya.

Kasus ini menjadi sorotan publik karena penangkapan Rahmadi pun menuai kontroversi. Dalam sidang lanjutan, Kamis (14/8/2025) di PN Tanjungbalai, keterangan dua polisi yang menangkap Rahmadi justru tidak sinkron. Rahmadi bahkan bersikukuh dirinya dijebak. (ROBS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini