Alamak! Bisa Pula Ahli dari JPU tak Mampu Jelaskan Nilai Ganti Rugi Tanam Tumbuh

Sebarkan:

 


Kedua ahli dari JPU. (MOL/Ist)



MEDAN | Peristiwa terbilang langka terjadi pada sidang lanjutan perkara dugaan korupsi di PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU) dengan 3 terdakwa yakni Dr Heriati Chaidir dan Darwin Sembiring dan M Syafi'i, Senin (27/6/2022) di Cakra 2 Pengadilan Tipikor Medan. 


Ahli audit keuangan negara Hernold Ferry Makawimbang yang dihadirkan oleh tim JPU dari Kejati Sumut tak mampu menjelaskan tentang ganti rugi tanam tumbuh di lokasi Kebun Simpang Koje dan Kampung Baru, Kabupaten Mandailing Natal (Madina).


Bahkan di awal persidangan tim penasehat hukum (PH) ketiga terdakwa pun sempat keberatan atas kompetensi ahli yang dihadirkan tim penuntut umum.


Ketika dicecar majelis hakim diketuai Sulhanuddin terkait berapa kerugian yang ditimbulkan oleh ketiga terdakwa, Hernold pun tidak bisa menjelaskan.


"Saudara ini katanya ahli menghitung kerugian negara. Anda jangan main-main ya? Ini menyangkut nasib ketiga orang ini. Kalau anda bilang menghitung berdasarkan laporan dari Ngadino (KTU PT PSU), anak SD juga bisa tinggal ambil kalkulator," cecar hakim anggota As'ad Rahim Lubis dengan nada tinggi.


Dalam persidangan ahli juga beberapa kali ditegur oleh majelis hakim mengenai pendapatnya yang dituangkan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 


"Jadi keahlian saudara apa? Ahli ngapain aja? Ini hanya mengcopy paste dari jaksa saja," tegas As'ad Lubis.


Ahli juga tampak kebingungan menjawab pertanyaan dari PH terdakwa Darwin Sembiring yakni Dr OK Isnainul SH MH, M Sa'i Rangkuti SH MH dan Datuk Zulfikar SH.


Sedangkan ahli lainnya, Irham dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara yang dihadirkan JPU menjelaskan mengenai tapal batas lahan yang berada di wilayah Hutan Produksi Terbatas (HPT) baik di Kebun Simpang Koje maupun Kampung Baru.


Namun seiring waktu berjalan, diakuinya sejak lahirnya UU Cipta Kerja tahun 2020, saat itu juga telah diajukan ke Kementerian Kehutanan agar kawasan tersebut menjadi kawasan perkebunan PT PSU.


"Jadi akibat keterlanjuran itu banyak juga terjadi di semua daerah di Indonesia. Dampak UU Cipta Kerja keluar menyebabkan banyak terjadi seperti ini. PT PSU sudah mengajukan ituNdan tidak ada lagi persoalan di PT PSU" jelasnya.


Tidak Paham


Sementara usai persidangan, OK Isnainul menyebutkan pada intinya  keberatan telah mereka dari awal. Karena sudah melihat tidak ada kompetensi dia (saksi audit) sebagai seorang saksi mengenai kerugian negara. 


Fakta lainnya terungkap di persidangan, majelis hakim juga pada akhirnya agak emosi melihat kesaksian daripada saksi ahli yang pertama tadi. Begitu juga dengan pertanyaan pertanyaan yang kami ajukan, seperti tadi dia tidak bisa membedakan ganti rugi tanam tumbuh dan ganti rugi lahan. 


"Tetap juga dia berkeras bahwasanya ganti rugi tanam tumbuh adalah ganti rugi lahan yang merupakan hak milik. Padahal nyata nyata judulnya aja GRTT, 


Jadi di situ kami melihat dia tidak ada pemahaman hak keperdataan yang melekat kepada masyarakat penggarap, karena tanaman itukan mereka yang menguasai puluhan tahun. Dan mereka ada legalitasnya walaupun legalitasnya dari pemerintah setempat, dan itulah yang diakui. 


Dan mengetahui pemerintah setempat itu mereka menguasai dan mengusahai lahan itu selama puluhan tahun, menanam dan sebagainya. Jadi kalau seandainya dia itu tidak diberikan ganti rugi. Karena tanam tumbuh itu melekat hak keperdataan milik dia,.


Tapi kalau tanah memang tidak melekat karena itu tanah yang dikuasai oleh negara, bukan tanah yang dimiliki negara, dalam hal ini dinas kehutanan," pungkas OK Isnainul. (ROBS/Stl)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini