Lagi Warga Pencari Keadilan Histeris di PN Medan, Anak Pemohon Luka Lebam dan Berdarah Namun Prapid Ditolak

Sebarkan:


Salah seorang keluarga pemohon prapid coba ditenangkan petugas satpam PN Medan. (MOL/ROBS)



MEDAN | Lagi warga pencari keadilan histeris di PN Medan Kelas IA Khusus. Keluarga Hetty Br Simamora selaku pemohon praperadilan (prapid) mengaku tidak percaya kalau hakim tunggal Abdul Hadi Nasution, Senin (13/9/2021) menyatakan, menolak permohonan prapidnya.


Sumpah serapah pun beberapa kali dilontarkan keluarga maupun kerabat pemohon prapid sembari meninggalkan gedung pengadilan.


"Jelas-jelas ada luka memar, mukanya berdarah, ada bekas luka tangan digari. Koq dibilang bukan tindak pidana? Kena bala nanti hakimnya itu," pekik salah seorang pria paruh baya tidak lama setelah keluar dari Cakra 3 PN Medan.


Petugas satuan pengaman (satpam) dan kerabat serta tim penasihat hukum (PH) pemohon prapid pun berusaha menenangkan emosinya.


Dalam perkara tersebut, Kapolri cq Kapolda Sumut cq Kapolrestabes Medan cq Kapolsek Delitua menjadi termohon I. Sedangkan Jaksa Agung cq Kajati Sumut cq Kajari Medan sebagai termohon II. 


Pemohon keberatan atas tindakan dihentikannya penyidikan alias diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan  (SP3) kasus dugaan penganiayaan oleh 2 orang sebelumnya dijadikan sebagai tersangka yakni Restu Situmorang dan Rosmaida Simbolon dengan korban, anak pemohon prapid yang masih di bawah umur.


Kecewa 


Sementara itu Tim PH pemohon prapid Ahmad Fadhly Roza dan Komala Sari dari Lembaga Perlindungan Anak Kota Medan menyampaikan nada  kekecewaan atas vonis ditolaknya permohonan prapid kliennya.


Di satu sisi pertimbangan hukum hakim, bahwa hakim sependapat dengan ahli hukum pidana yang dihadirkan di persidangan. Bahwa ahli berpendapat, tidak ada peristiwa pidana. Bukan merupakan tindak pidana, sehingga penghentian penyidikan yang dilakukan Polsek Delitua sudah sah.


"Artinya kan, ketika Yang Mulia menyatakan tidak ada peristiwa pidana, ini kan sudah masuk pokok perkara pidananya. Harusnya kan diuji dulu di persidangan pokok perkara kasus yang kita laporkan," urai Ahmad Fadhly Roza.


Di bagian lain hakim tunggal menyatakan memang benar sudah ada 2 alat bukti yang cukup yakni minimal 2 alat bukti berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).


Namun setahun bagaimana dua alat bukti yang menguntungkan daripada anak (anak pemohon prapid) tersebut diduga jadi korban, malah tidak dianggap sebagai alat bukti. 


"Si anak yang diduga jadi korban justru dijadikan alat bukti menguntungkan dari pihak 2 tersangka. Dengan tetap menghormati putusan Yang Mulia tapi hal itu menurut kami suatu keanehan," timpalnya.


Prapid Kembali


Sedangkan dua alat bukti yang disampaikan tim kuasa hukum pemohon  yakni, keterangan dari korban, visum bahwa adanya luka-luka, juga sesuai hukum acara pidana (KUHPidana) merupakan 2 alat bukti yang sah.


"Kita juga mempunyai alat bukti, bahkan penyidik juga sependapat dengan kita. Makanya polisi (termohon I) menetapkan kedua orang tersebut sebagai tersangka. Kok tiba-tiba berdasarkan keterangan ahli yang diminta jaksa bahwa mengatakan tidak ada peristiwa pidana.


Namun kemudian Polsek Delitua menyatakan SP3. Kita akan tetap melakukan upaya permohonan prapid kembali sampai duduk perkara ini," pungkas Ahmad Fadhly Roza . (ROBS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini