Tanpa Perwakilan di Legislatif, Buruh Akan Tetap Jadi 'Budak'

Sebarkan:
Pileg 17 April 2019 Momen Penting Perjuangan Politik Buruh di Sumut 


Orde Baru tumbang saat mahasiswa dan buruh bersatu. Perekonomian lumpuh ketika massa pekerja turun ke jalan. Siapa pun akan gentar begitu melihat kaum termarjinalkan ini bersatu menyuarakan aspirasinya. Tapi sayang, kekuatan yang sangat besar itu tak kunjung dimanfaatkan untuk mendudukkan wakilnya di legislatif.

Kondisi itu yang membuat buruh selama ini tak punya posisi tawar di kancah politik. Lalu, apakah kelompok massa yang sangat besar ini masih tetap terpecah di ajang Pemilihan Legislatif 17 April 2019 yang akan datang?

Gindo Nadapdap SH MH, salah seorang aktifis buruh Sumut dari era 90-an mengajak agar kaum pekerja kali ini benar-benar bersatu. “Pemilihan legislatif adalah momentum 1 kali dalam lima tahunan yang harus diperhatikan oleh kelompok perburuhan. Kelompok perburuhan adalah kelompok masyarakat yang bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan baik manufacture, perkebunan, makanan, jasa, perhotelan, dan lain-lain. Jumlah buruh tergolong sangat besar, akan tetapi secara politik, kelompok perburuhan belum memiliki perwakilan politik di legislatif,” kata pengacara yang sudah malang melintang membela kasus-kasus perburuhan di Sumatera Utara ini.

Ditambahkannya, tidak adanya perwakilan buruh di kursi dewan selama ini mengakibatkan posisi tawar perburuhan di legislatif sangat lemah. Kondisi itu yang terjadi sehingga legislatif selama ini tidak memiliki perhatian khusus untuk membela dan memperjuangkan hak-hak perburuhan.

“Maka fakta di lapangan adalah, masih banyak karyawan kontrak dan outsourcing dengan penerapan yang bertentangan dengan syarat-syarat yang diatur Undang-undang. Masih banyak karyawan yang menerima upah yang murah. Masih banyak karyawan yang tidak didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Masih banyak karyawan yang sangat mudah di PHK tanpa menerima uang pesangon, dan lain-lain,” kata mantan Ketua Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) ini.

Dikatakan alumni Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan ini, perjuangan hukum melalui jalur pengadilan sangatlah melelahkan, karena persidangan melalui PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) sangat lama, bertele-tele sehingga berbiaya mahal.

“Berdasarkan pengalaman selama ini, kasus perburuhan baru dapat diputuskan dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap memerlukan waktu 3 tahun. Bahkan sangat sering ditemukan putusan pengadilan hanyalah kemenangan di atas kertas, karena tidak bisa dieksekusi. Keadaan ini mengakibatkan kehidupan buruh masih sangat sulit.  Keadilan dan kesejahteraan bagi karyawan yang menjadi cita-cita dalam bernegara masih jauh dari harapan,” ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Direktur Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH) Solidaritas ini, dirinya dan beberapa aktifis buruh di Sumatera Utara mengajukan diri menjadi Calon Legislatif yang berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak politik kelompok perburuhan tersebut.

Selain Gindo Nadapdap SH MH yang merupakan Caleg DPRD Provinsi Sumatera Utara, Dapil 3 Kabupaten Deli Serdang, dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Nomor 11, dengan Nomor Urut 9, juga ada Parulian Sinaga SH Caleg DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Dapil 1 Kota Medan juga dari PSI Nomor 11, dengan Nomor Urut 1.

Kemudian, ada juga Rintang Brutu SH, Caleg DPRD Kabupaten Deli Serdang, Dapil 3 Kecamatan Patumbak, Namorambe, Deli Tua, Sibiru-biru, Sibolangit, dari PSI Nomor 11, dengan Nomor Urut 3, serta Supranoto SH, Caleg DPRD Kota Medan, Dapil 4 meliputi Medan Amplas, Medan Kota, Medan Area, Medan , dari PDIP Nomor 4, dengan nomor urut 4.

Keempat aktifis buruh ini memiliki beberapa poin dalam memperjuangkan politik kelompok perburuhan di legislatif. Di antaranya, memastikan pengawasan atas pelaksanaan hak-hak normative karyawan berjalan dengan baik. Perusahaan-perusahaan yang sudah mematuhi hak-hak normative dengan sempurna akan mendapatkan reward (penghargaan) dari Negara. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak normatif harus mendapatkan punishment (hukuman) sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

“Pengawasan selama ini yang dilakukan oleh Instansi Ketenagakerjaan masih pengawasan yang ecek-ecek. Pengawasan dilaksanakan tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban yang akuntabel. Maka dengan adanya perwakilan politik kelompok perburuhan di Legislatif maka pengawasan di bidang ketenagakerjaan harus dilakukan secara professional, transparan dan akuntabel,” kata Gindo.

Poin selanjutnya, mereka akan memastikan alokasi Anggaran Negara (APBN atau APBD) turut memperhatikan sektor perburuhan. Kelompok perburuhan selama ini termasuk salah satu kelompok masyarakat yang tidak merasakan dampak APBN ataupun APBD.

“Oleh karena itu, anggaran untuk pengawasan dan peningkatan kapasitas serikat buruh harus mendapatkan alokasi dari anggaran Negara, sehingga lembaga-lembaga perburuhan yang ada, mulai dari Disnaker khususnya lembaga pengawasan dan lembaga mediasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Lembaga Kerjasama Tripartit, Lembaga Kerja Sama Bipartit dan Dewan Pengupahan dapat berjalan efektif untuk meningkatkan hubungan kerja yang semakin harmonis antara pengusaha dan pekerja,” terangnya.

Kemudian, mereka juga berjuang agar peraturan di bidang perburuhan tidak memberatkan kelompok perburuhan. Misalnya kebijakan buruh kontrak dan outsourcing harus menjadi atensi utama untuk diperbaiki karena sangat memberatkan karyawan.


“Kita juga akan memperjuangkan agar asuransi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) diterapkan dengan pembayaran iuran yang ditanggung penuh oleh Pengusaha. Hal ini sangat penting untuk menghindari konflik pesangon yang berkepanjangan yang sebenarnya dapat diatasi dengan memberlakukan asuransi PHK sesuai dengan Pasal 167 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kita sama-sama tahu sangat banyak buruh yang di PHK tanpa menerima hak atas pesangon saat ini,” jelasnya.

Agar kelompok perburuhan memiliki perwakilan politik, serta dapat memperjuangkan hak-hak yang disebutkan tadi, kata Gindo, maka mereka mengharapkan support dari seluruh buruh pada PILEG 17 April 2019 nanti, agar buruh memiliki perwakilan politik di legislatif. Bila tidak juga bersatu, maka buruh akan tetap menjadi 'budak'.(red)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini