Jual Tanah Negara, Tamin Sukardi Dituntut 10 Tahun Penjara

Sebarkan:
Tamin Sukardi disidang
Medan-Pengusaha ternama di Kota Medan, Tamin Sukardi, dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara. Dia dinilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menjual tanah negara dengan nilai lebih dari Rp 132 miliar kepada Mujianto.

Tuntutan itu disampaikan tim JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (6/8). Tamin dinilai telah terbukti bersalah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 2 ayat (1)  jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana sesuai dakwaan primair.

“Menghukum terdakwa Tamin Sukardi dengan pidana penjara selama 10 tahun dipotong masa tahanan dan terdakwa ditahan dalam rumah tahanan negara,” ucap JPU Salman di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo.

Selain hukuman penjara, JPU juga meminta agar majelis hakim mewajibkan Tamin membayar uang pengganti kerugian negara Rp Rp 132,4 miliar. Dalam tuntutan disebutkan pula, jika uang pengganti tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa akan disita dan dilelang. Seandainya hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar kerugian negara, maka dia harus menjalani pidana penjara selama 5 tahun.

Jaksa juga menuntut agar lahan 72 hektare di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang dirampas oleh negara. “Untuk selanjutnya diserahkan kepada gubernur Sumatera Utara pengaturan, penguasaan dan penggunaaannya,” lanjut Salman.

Setelah mendengar tuntutan JPU, penasihat hukum terdakwa menyatakan mereka akan menyampaikan nota pembelaan (pledoi). Nota pembelaan itu disampaikan pada persidangan pekan depan.

Seusai persidangan, pihak JPU enggan berkomentar. Sementara Tamin Sukardi, yang ditanya soal tuntutan terhadapnya, menyatakan menyerahkan semua kepada penasihat hukum.

Ketua tim penasihat hukum Tamin Sukardi, Fachruddin Rifai, menilai JPU tidak menganggap fakta-fakta persidangan. “Kami tidak mau ungkap (fakta-fakta persidangan yang diabaikan) sekarang. Nanti kita susun dalam pledoi. Tunggu minggu depan,” katanya.

Persidangan tuntutan tersebut juga diwarnai dengan aksi demonstrasi dari Komite Tani Menggugat (KTM) Sumut. Puluhan massa yang membawa spanduk dan sound system di mobil Pick Up menggelar aksi damai di depan gedung PN Medan. Dalam orasinya Ketua KTM Sumut Unggul Tampubolon mendesak majelis hakim untuk menghukum Tamin Sukardi dengan hukuman maksimal. Menurutnya Tamin diduga telah menggunakan segala upaya untuk menguasai lahan tersebut. 

KTM juga menggelar aksi di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumut. Mereka meminta agar Mujianto juga ditetapkan sebagai tersangka. Karena menurut mereka, Mujianto telah membeli tanah dari Tamin Sukardi. "Kejagung juga menahan Mujianto selaku pemilik PT Agung Cemara Reality sebagai penadah perampokan tanah negara dengan membangun ribuan Ruko di areal 74 Ha," ucap Unggul Tampubolon.

Menyikapi itu, Kasi Penkum Kejatisu Sumanggar Siagian mengatakan penanganan kasus Tamin Sukardi bukan Kejatisu yang pegang melainkan Kejagung. Sehingga pihaknya tidak bisa serta merta mengambil alih kasus tersebut apalagi pengembangan Mujianto dalam kasus Tamin Sukardi. "Penyidikannya kan Kejagung. Kita tidak bisa langsung mengambil alih. Jadi kita tunggu sikap dari Kejagung," ucapnya saat dikonfirmasi.

Perkara ini bermula pada 2002, ketika terdakwa Tamin Sukardi mengetahui 106 hektare lahan yang dipakai PTPN 2 (Persero) di Kebun Helvetia tidak diperpanjang hak guna usaha (HGU)-nya. Dia pun berniat menguasai lahan yang berada di Pasar IV Desa Helvitia, Labuhan Deli, Deli Serdang itu berbekal 65 lembar Surat Keterangan Tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang (SKTPPSL).

Untuk membantu upayanya itu, terdakwa meminta bantuan Tasman Aminoto dan Misran Sasmita, mantan Karyawan PTPN 2, dan Sudarsono.

Mereka membayar dan mengoordinasi sejumlah warga agar mengaku sebagai pewaris hak garap di lokasi tanah dengan dikuatkan dengan bukti 65 lembar SKTPPSL yang seolah-olah diterbitkan tahun 1954. Dengan menyerahkan KTP warga dijanjikan akan mendapatkan tanah masing-masing seluas 2 hektare.

Padahal, nama yang tertera dalam 65 lembar SKPPTSL bukanlah nama orang tua dari warga-warga itu. Mereka juga sama sekali tidak pernah memiliki tanah di lokasi itu.

Selanjutnya, warga juga dikoordinasi untuk datang ke notaris. Di sana mereka menandatangani dokumen-dokumen berkaitan dengan tanah itu.

Pada 2006, warga diakomodasi agar memberikan kuasa kepada Tasman Aminoto (Alm) untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) di Deli Serdang.

Setiap selesai persidangan, kata jaksa, warga juga singgah ke rumah Tamin di Jalan Thamrin Medan. Mereka diberi uang Rp 100.000-Rp 500.000 melalui Tasman Aminoto ataupun anaknya Endang.

Gugatan warga akhirnya dikabulkan pengadilan dan dikuatkan sampai Peninjauan Kembali (PK). Setelah putusan pengadilan tingkat pertama, pada 2007 Tasman Aminoto melepaskan hak atas tanah itu kepada Tamin Sukardi yang menggunakan PT Erni Putera Terari (Direktur Mustika Akbar) dengan ganti rugi  Rp 7.000.000.000. Akta di bawah tangan kemudian didaftarkan ke Notaris Ika Asnika (waarmerking).

Kemudian, atas dasar akta di bawah tangan dan putusan tingkat pertama itu, pada 2011, PT Erni Putera Terari tanpa mengurus peralihan hak atas tanah itu dan tanpa melalui ketentuan UU Agraria, menjual 74 hektare dari 106 hektare lahan yang dikuasainya kepada Mujianto selaku Direktur PT Agung Cemara Reality sebesar Rp 236.250.000.000. Namun, Mujianto baru membayar sekitar Rp.132.468.197.742 kepada Tamin Sukardi. Sisanya akan dibayarkan setelah sertifikat tanah terbit.

Masalahnya, status tanah yang menjadi objek jual beli antara PT Erni Putera Terari dengan PT Agung Cemara Reality masih tercatat sebagai tanah negara. Tidak ada rekomendasi melepas hak negara dimaksud dari Menteri BUMN yang membawahi PTPN 2.(red)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini