Eksekusi Tanah di Mabar Hilir Nyaris Ricuh

Sebarkan:
MEDAN UTARA - Eksekusi tanah seluas 2600 m2 terletak di Pasar III, Kelurahan Mabar Hilir, Kecamatan Medan Deli, nyaris ricuh, Kamis (2/8) pukul 10.00 WIB.

 Eksekusi dengan mengerahkan petugas dari Polres Pelabuhan Belawan bersama POMAL, POMAD, Satpol PP dan OKP sempat mendapat perlawanan dari pihak penghuni tanah.

 Dengan pengawalan ketat petugas keamanan, juru ekskutor yang telah mendapat perintah eksekusi dari salinan putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan sebulan lalu, langsung membongkar bangunan milik tergugat.

 Namun, pihak tergugat berusaha melakukan perlawanan menolak untuk dieksekusi. "Jangan kalian eksekusi dulu, diaman tanah yang mau kalian eksekusi, kalian tidak jelas," teriak sejumlah warga yang menghalangi tim eksekusi.

 Suasan semakin memanas, pihak tergugat terus menghalangi petugas eksekusi dengan menolak untuk dieksekusi. "Dimana otak kalian, jangan kalian bela mafia tanah, kami ini rakyat kecil yang punya hak atas tanah ini. Dasar tidak ada manusiawi kalian," teriak seorang ibu - ibu.

 Karena kondisi semakin tak terkendali, petugas keamanan dibawah pimpinan Kabag Ops Polres Pelabuhan Belawan, Kompol Erinal, memerintahkan untuk memperketat keamanan.

 Masyarakat tidak bisa dikendalikan, akhirnya petugas keamanan mengamankan tiga orang yang mencoba menghalangi, ketiganya dibawa untuk dipisahkan dari kerumunan massa yang menghalangi.

 Alhasil, suasan nyaris ricuh itu dapat terkendali, petugas eksekusi dengan memakai tangan Satpol PP melakukan pembongkaran gudang pembuatan mebel.

 Pihak tergugat hanya bisa meratapi tangisan melihat kondisi bangunan yang sudah dijadikan tempat ‎mata pencaharian anaknya itu dibongkar petugas eksekusi.

 "Dasar tak manusiawi kalian, dimana pikiran kalian, seenaknya kalian bongkar, ingat kalian pasti dapat karma," teriak Bu Yanti tak kuasa sambil melinangkan air mata.

 Di sela - sela pembongkaran, pihak dari keluarga, Agus mengaku kecewa adanya eksekusi yang dilakukan penegak hukum, alasannya, tanah yang dieksekusi adalah tanah warisan dari nenek mereka.

 Tanah itu merupakan hasil garapan sejak tahun 1930, kemudian mendapat restu untuk dikelola oleh masyarakat dengan berstatus lahan pemakaian perkebunan ditandai adanya kartu yang dikeluarkan administratur perkebunan pada tahun 1954.

 "Kami menempati tanah ini memiliki legalitas jelas, ada riwayat sejarahnya, tanah ini sudah puluhan tahun kami tempati," sebut Agus.

 ‎ Dari situlah, kata pria berusia 43 tahun ini, nenek mereka selaku pewaris diberikan sewa garap oleh pihak perkebunan pada tahun 1959 untuk menguasai lahan dengan membayar pajak ke perkebunan.

 "Pewaris dari nenek kami adalah petani, kami bisa menerima warisan ini berdasarkan adanya surat yang kita pegang pada masa sebelum kita merdeka, yang jelas pihak penggugat tidak mempunyai dasar surat, gugatannya kami anggap cacat hukum," terang Agus.

 Dijelaskan Agus, pihak penggugat mulai hadir di lahan itu, melakukan gugatan pada 2017 akhir, dengan atas nama Rita Helmi menggunakan surat dasar landreform pada tahun 1965.

 "Dari riwayat ahli waris almahrum Ahmad Dikun merupakan nenek kami, memiliki surat yang lebih awal diterima dari perkebunan. Jadi, ini ada keganjilan. Maka, kami akan melakukan banding hasil keputusan yang dikeluarkan PN Medan," tegas Agus.

 ‎Suasan eksekusi berlangsung hingga pembongkaran seluruh bangunan di lahan itu, sejumlah barang milik tergugat dievakuasi dari lahan itu, setelah itu petugas eksekusi dan keamanan meninggalkan lokasi. (mu-1)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini