Maret 2024 Kejati Sumut Hentikan 17 Penuntutan Perkara Humanis, Terbanyak Asal Kejari Gunungsitoli

Sebarkan:
 


Dokumen foto saat Kajati Sumut Idianto didampingi Wakajati M Syarifuddin ekspos perkara humanis secara online kepada JAM Pidum Kejagung RI. 
(MOL/Ist)   



MEDAN | Hingga pekan ketiga Maret 2024, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) yang wilayah hukumnya terdiri dari 28 Kejaksaan Negeri (Kejari) dan 9 Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari), telah melakukan penghentian penuntutan 17 perkara humanis dengan menerapkan Perja No 15 Tahun 2020.

Yakni Perja tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ).

Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kajati Sumut) Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan,SH,MH saat dikonfirmasi Minggu (24/3/2024) mengatakan, dari 17 perkara yang berhasil dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif, Kejari Gunungsitoli jadi penyumbang perkara terbanyak (5 perkara), disusul Kejari Asahan (3 perkara).

Kejari Langkat dan Karo (masing-masing 2 perkara), sisanya berasal dari Kejari Medan, Kejari Belawan, Kejari Labuhanbatu, Kejari Deliserdang dan Cabjari Deliserdang di Labuhan Deli (masing-masing 1 perkara).

"Proses penghentian penuntutan 17 perkara tersebut tidak serta merta dilakukan begitu saja, tapi diusulkan secara berjenjang mulai dari JPU, ke Kasi Pidum, ke Kajari, ke Aspidum dan akhirnya diekspos ke JAM Pidum, kalau JAM Pidum menyetujui, maka perkara tersebut dihentikan penuntutannya berdasarkan Perja No 15 Tahun 2020," kata Yos A Tarigan.

Lebih lanjut mantan Kasi Pidsus Kejari Deliserdang tersebut menyampaikan bahwa proses penghentian penuntutan ini lebih kepada melihat esensi perkaranya. 

Karena, pemidanaan tidak serta merta membuat seseorang berubah, justru ada yang sebaliknya. Pemidanaan membuat seseorang jadi memiliki dendam dan ketika keluar dari Lembaga Pemasyarakatan malah jadi mengulangi perbuatannya.

"Perja Nomor 15 tahun 2020 ini sudah sangat tepat dalam mengedepankan penegakan hukum yang humanis, dimana proses penghentian penuntutan dilakukan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2,5 juta.

Ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun. Dan yang terpenting lagi adalah antara tersangka dan korban saling memaafkan dan ada kesepakatan berdamai serta tidak ada dendam di kemudian hari," papar Yos.

Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif melibatkan tokoh masyarakat, keluarga, penyidik dan jaksa. Dengan adanya perdamaian antara tersangka dan korban, itu artinya kedua belah pihak telah mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dan terciptanya harmoni di tengah masyarakat.

"Perlu diperhatikan dan digarisbawahi bahwa perkara yang bisa diusulkan untuk dihentikan penuntutannya adalah apabila memenuhi syarat berdasarkan Perja Nomor 15 tahun 2020, terutama poin pertama, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana," tandasnya. (ROBERTS)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini