Dokumen foto Jaksa Agung ST Burhanuddin (atas) dan hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan amar putusan. (MOL/Ist)
JAKARTA | Kejaksaan RI mengapresiasi putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dalam uji konstitusional kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan, khususnya tindak pidana korupsi.
Apresiasi tersebut disampaikan Kapuspenkum Kejagung RI Dr Ketut Sumedana dalam pers rilisnya yang diterima redaksi, Rabu pagi tadi, (17/1/2024).
“Dengan demikian, putusan yang telah dibacakan majelis hakim Konstitusi, Selasa (16/1/2024) tersebut bersifat final dan mengikat sejak diucapkan sekaligus tidak dapat diajukan upaya hukum,” sambung Ketut Sumedana.
Poin-poin pertimbangan putusan majelis hakim Konstitusi untuk sebagian dan seluruhnya telah mengambil alih dalil-dalil yang disampaikan dalam persidangan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) yang dipimpin oleh Feri Wibisono beserta tim sebagaimana Surat Kuasa Khusus Nomor : SK - 52 / A / JA / 05 / 2023.
Di antaranya, kewenangan penyidikan merupakan open legal policy. Kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan diperlukan untuk kepentingan penegakan hukum khususnya tindak pidana khusus.
Kewenangan melakukan penyidikan adalah praktik lazim di dunia internasional, khususnya untuk tindak pidana pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Kewenangan jaksa melakukan penyidikan tidak mengganggu proses check and balance.
“Dalam sidang uji materiil kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan khususnya kasus / perkara tindak pidana korupsi, tidak lepas dari peran penting Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) sebagai pihak terkait yang selalu hadir dalam persidangan,” kata Juru Bicara Kejagung RI tersebut.
Di antaranya, Dr Amir Yanto selaku Ketua Umum Persaja, Dr Reda Manthovani (Jaksa Agung Muda Intelijen) dan Dr Narendra Jatna (Kepala Kejaksaan Tinggi Bali) yang telah memberikan masukan dan strategi dalam proses persidangan di MK, termasuk juga dalam menghadirkan beberapa saksi ahli ketatanegaraan dan ahli pidana dari luar dan dalam negeri.
Pertimbangan Hukum
Mengutip laman resmi mkri.id, hakim konstitusi M Guntur Hamzah dalam sidang pengucapan putusan Nomor 28/PUU-XXI/2023, menolak seluruhnya permohonan uji materiil terhadap tiga Undang Undang (UU) sekaligus yang diajukan oleh M Yasin Djamaludin, Selasa (16/1/2024) di ruang sidang MK.
Yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’.
Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan / atau Kejaksaan’ UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Pertimbangan hukum hakim konstitusi atas putusan penolakan perkara a quo antara lain, pembentuk UU memilih untuk memberikan kewenangan melakukan penyidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi, merupakan bagian dari jenis tindak pidana khusus dan / atau tertentu kepada Kepolisian, Kejaksaan dan KPK.
Sebab menurut pembentuk UU, penanganan tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime. Sehingga, tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja. Oleh karenanya, prinsip diferensiasi fungsional yang termuat pada KUHAPidana secara faktual, realita kebutuhan, dan kemanfaatan belum dapat dilakukan secara utuh.
Guntur menguraikan, Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan hanya merupakan pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus dan/atau tertentu saja. Sementara itu, untuk tindak pidana umum kewenangan penyidikan tetap berada pada Kepolisian.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan masih tetap diperlukan untuk menangani tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang secara faktual jenis maupun modusnya semakin beragam.
Di samping itu, secara riil adanya pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan hal tersebut semakin mempercepat penyelesaian penanganan tindak pidana khusus dan/atau tertentu yang dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana khusus dan/atau tertentu, serta memenuhi rasa keadilan kepada masyarakat,” urainya.
Menurut Mahkamah, terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’ dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan / atau Kejaksaan’ serta UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang secara yuridis kekuatan keberlakuannya memiliki keterkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan norma Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan.
“Maka hal ini memiliki landasan konstitusional. Dengan demikian, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” sebut Guntur.
Kolaborasi
Guntur melanjutkan bahwa pasal-pasal yang diujikan pemohon merupakan norma yang mengatur hal yang berhubungan dengan kewajiban adanya kolaborasi di antara lembaga penegak hukum, yakni Kepolisian, Kejaksaan dan KPK dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Pembentuk UU memandang tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime memiliki dimensi persoalan yang krusial. Akibatnya, tidak dapat dilakukan satu lembaga penegak hukum sebagai penyidik. Sehingga penyidikan dalam tindak pidana korupsi selain dilakukan oleh Kepolisian, diperlukan lembaga penegak hukum lain yakni Kejaksaan dan KPK.
Sepanjang ketiga lembaga penegak hukum yang dimaksud saling berkoordinasi agar terdapat kesatuan sikap dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang lebih efektif atas upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia.
“Oleh karenanya, dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi, ketiga lembaga tersebut membuat kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan KPK RI.
Adanya kesepakatan dalam koordinasi dan supervisi ini menjadikan aspek pengawasan tidak hilang dalam penanganan tindak pidana korupsi antara Kepolisian, Kejaksaan dan KPK,” jelas Guntur. (ROBERTS)