Perkara Korupsi Jalan Pangasean-Sitamiang Samosir, Ahli Pidana: Masih Ranah Perdata Penyidik Jangan Masuk Dulu

Sebarkan:

 


Ahli hukum pidana Mahmud Mulyadi (atas) dan ahli pengadaan barang dan jasa Edi Usman. (MOL/ROBERTS)



MEDAN | Melalui tim penasihat hukumnya (PH), giliran 2 ahli dihadirkan kedua terdakwa perkara korupsi terkait pekerjaan Jalan Pangasean - Sitamiang, Kecamatan Onan Runggu, Kabupaten Samosir, Herdon Samosir ST sebagai Wakil Direktur (Wadir) CV Nabila.


Serta Saut Simbolon selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam sidang lanjutan, Jumat (6/10/2023) di Cakra 6 Pengadilan Tipikor Medan. 


Yakni Edi Usman selaku ahli pengadaan barang dan jasa pemerintah dan ahli hukum pidana Dr Mahmud Mulyadi SH MHum.


Menjawab pertanyaan hakim ketua Erika Sari Ginting, Edi Usman menegaskan, dari segi masa pekerjaan Jalan Pangasean - Sitamiang, Kabupaten Samosir, sudah berakhir.


"Namun secara utuh, kontrak di Tahun Anggaran 2021 tersebut belum berakhir karena masih ada hak dari rekanan belum dibayarkan pengguna jasa sampai sekarang Yang Mulia," tegasnya.


Sebelumnya, menjawab pertanyaan ketua tim PH terdakwa rekanan,  Binsar Siringoringo didampingi Jannus Willem Purba, Hotmar S Situmorang, Leonard Manurung dan Sephma Tuahta Sinaga, ahli mengatakan, ada 2 ruang yang bisa ditempuh bila terjadi sengketa (dalam suatu pekerjaan proyek-red).


Bila di luar pengadilan, menggunakan UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.


"Namun di APBN dan APBD di Tahun 2018 sudah dicover melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) namanya Peraturan LKPP Nomor 18 Tahun 2018," tegasnya.


Jangan Masuk


Sementara ketika mendengarkan pendapat ahli hukum pidana Mahmud Mulyadi, dalam hitungan menit suasana persidangan berjalan alot. Tim JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir, PH kedua terdakwa khususnya majelis hakim tampak begitu bersemangat menghujani ahli dengan berbagai pertanyaan.


Ketika ditanya anggota majelis hakim lainnya, Gustap Marpaung mengenai kontrak pekerjaan telah berakhir atau tidak, Mahmud Mulyadi mengatakan, tidak bisa memberikan pendapat lebih jauh. Tergantung nanti bagaimana penilaian ahli pengadaan barang dan jasa. Apakah sanksi denda telah dibayarkan, hasil pekerjaan telah dibayarkan dan seterusnya.


"Artinya, di tahapan penyelidikan, aparat penegak hukum kejaksaan misalnya, bukan berarti tidak  boleh masuk. Boleh. Tapi dia harus lihat dulu. Perdata ini. Kalau masih ranah perdata jangan masuk dulu," timpal hakim ketua Erika Sari Ginting dan ditimpali lagi oleh ahli, "Itu maksud Saya Yang Mulia".

 

"Kalau ada, di mana peraturan pidana yang mengatakan pidana boleh masuk ketika proses administrasi sedang berjalan? Tunjukkan kepada Saya. Tidak ada Yang Mulia. 


Atau begini Yang Mulia. Apakah semuanya masih proses penyidikan semuanya harus (ranah) pidana? Kadang, perjanjian itu masuk pidana. Padahal itu perdata. 


Bisa bahaya kita ini Yang Mulia. Proses perdata sedang berjalan masuk lagi penyidik dengan hukum pidana dengan objek yang sama," kata Mahmud. 


Dapat


Sedangkan mengenai dihapusnya kata: dapat dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Korupsi, menurut Mahmud, semula ada dua perdebatan sehingga dihilangkan.


"Ini beda lagi ya? Ada delik formil dan ada delik materil. Kalau delik formil, tidak perlu ada akibat di situ. Kalau (perkara) mencuri itu kan masuk delik formil. Kalau pembunuhan, delik materil.


Karena dihilangkannya kata dapat, maka (susunan bahasanya) yang mengakibatkan kerugian. Bukan dapat mengakibatkan. Maka yang pas sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu menjadi delik materil," urainya.


Yang harus diuji, lanjutnya, kerugian itu menggunakan kausalitas verbal. Sebab akibat lahir dari perbuatan melawan hukum. Artinya, jangan buru-buru langsung menghitung kerugiannya dulu.


MK juga menyebutkan (kerugian keuangan atau perekonomian negara-red) yang dihitung adalah sebagai actual loss. Bukan total loss. 


"Dia (nilai kerugian keuangan atau perekonomian negara) pasti, ada hubungan kausalitas sebab akibat, perbuatan melawan hukum," tegas Mahmud.


Mens Rea


Jalannya persidangan kembali alot, ketika anggota majelis hakim Rina Lestari 'menyodok' pertanyaan tentang indikasi adanya niat jahat (mens rea) dalam suatu proyek pekerjaan. Ahli berpendapat, hukum pidana di Indonesia menganut asas dualistis. Bukan monistis.


"Memisahkan antara perbuatan melawan hukum (actus reus) dengan mens rea. Jangan terfokus ke mens reanya dulu. Buktikan dulu actus reusnya. Yang Mulia, misalnya, ah kau sudah punya niat jahat. Bisa terancam lah kita semua ini. Kalau actius reus tidak terbukti, tidak perlu mens rea itu," katanya.


Sementara mengenai alasan pemaaf misalnya, dalam suatu kontrak dikerjakan pada tahun anggaran selanjutnya, Mahmud berpendapat, dimaafkan sepanjang tidak melanggar aturan. Misalnya ketika dilakukan tindakan eksekusi.


"Dialihkannya atau tidak titik lokasi pekerjaan, bukan ranah pidana. Apa alasannya dialihkan? Kalau boleh, artinya alasan pembenar. Kalau tidak  boleh, dia melanggar peraturan perundang-undangan. 


Tidak boleh itu, lanjutnya, apakah ada kondisi tertentu? Apakah bermanfaat atau kebutuhan atau karena alasan tertentu terdesak misalnya,  itu namanya alasan pemaaf. Tanpa alasan pemaaf tadi, maka dia bisa dihukum.


Menurutnya, kepastian dan kemanfaatan hukum itu di akhir. Adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Unsur keadilan adalah di awal. Bagaimana menetapkan seseorang sebagai tersangka sebagaimana diatur dalam KUHAPidana," pungkasnya.


Erika Sari Ginting pun melanjutkan persidangan persidangan pekan depan guna mendengarkan pembacaan surat tuntutan JPU. (ROBERTS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini