MEDAN | Kejati Sumut kembali menghentikan penuntutan 4 perkara dengan pendekatan humanis berdasarkan Perja No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative Justice (RJ) atau Keadilan Restoratif.
Ekspos perkara disampaikan Kajati Sumut Idianto diwakili oleh Wakajati Joko Purwanto didampingi Aspidum Luhur Istighfar, para Kasi pada Aspidum, Selasa (10/10/2023).
Idianto melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan SH, saat dikonfirmasi wartawan menyampaikan bahwa perkara yang diajukan adalah darI Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan, Kejari Simalungun, Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Deliserdang di Labuhandeli dan Cabjari Mandailing Natal (Madina) di Kotanopan.
Perkara humanis asal Kejari Medan atas nama tersangka Halomoan. Dia disangka melanggar Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Asal Kejari Simalungun dengan tersangka atas nama Rafik Zaha dalam perkara dugaan pencurian brondolan kelapa sawit.
Perkara asal Cabjari Deliserdang di Labuhandeli atas nama tersangka Ratno Syahputra alias Dedy melanggar Pasal 111 UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Jo Pasal 55 KUHPidana.
"Bukan kuantitasnya yang diutamakan, tapi kualitas dari perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan sisi kemanusiaan.
Misalnya, seorang ayah mencuri berondolan kelapa sawit milik perkebunan swasta atau BUMN, dari hasil jual berondolan ia mendapatkan uang Rp120.000 demi untuk membali beras untuk keberlangsungan dapurnya tetap bisa berasap (bisa makan dengan keluarganya).
Untuk perkara seperti ini, JPU yang menangani perkaranya harus melihat esensinya. Kenapa si ayah tadi mencuri? Berpijak pada alasan kemanusiaan, jaksa dituntut untuk menggunakan hati nuraninya," urai Yos.
Karena, lanjutnya kalau si ayah tadi dimasukkan ke penjara, ada dua alternatif yang menjadi dampaknya. Bertobat atau malah makin jahat di kemudian hari.
Jaksa Agung melalui Perja No 15 Tahun 2020 menjalankan program ini sudah banyak menolong orang agar tidak sampai masuk penjara, di mana antara tersangka dan korbannya dimediasi untuk berdamai dan tidak ada dendam di kemudian hari.
Untuk memediasi perkara-perkara tindak pidana ringan yang hukumannya di bawah lima tahun, kata Yos A Tarigan, Kejati Sumut juga sudah membentuk rumah Restorative Justice. Baru-baru ini Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) meresmikan Rumah RJ di Kabupaten Samosir.
Dengan demikian bahwa penghentian penuntutan dengan pendekatan RJ di wilayah hukum Kejati Sumut total mencapai 107 perkara.
Kejari Asahan
Urutan terdepan dengan jumlah RJ tertinggi adalah Kejari Asahan 10 perkara, disusul Kejari Langkat (9) dan Kejari Simalungun (8). Kemudian disusul Kejari Labuhanbatu dan Cabjari Deliserdang di Labuhandeli (7).
Sementata Kejari dan Cabjari lainnya yang ada di wilayah hukum Kejati Sumut bervariasi dari 1 perkara sampai 6 perkara.
Proses penghentian penuntutan dengan pendekatan Keadilan Restoratif dilakukan secara berjenjang dengan syarat utama tersangka belum pernah melakukan tindak pidana dan ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
"Setelah perkara yang diusulkan disetujui oleh JAM Pidum, kesepakatan damai antara tersangka dan korban akan menciptakan harmoni di tengah masyarakat dan tidak ada lagi rasa dendam berkepanjangan," pungkas Yos A Tarigan. (ROBS)

