Oleh : Askolani Nasution
Tulisan ini di muat karena menurut saya juga bagian dari pendidikan demokrasi.
Benar bahwa kasus Mompang Julu di menciderai sejarah demokrasi di Kabupaten Mandailing Natal, karena berakhir anarkis. Dan itu memalukan.
Tapi, meskipun menyesalkannya, saya juga memakluminya. Namanya juga masyarakat awam yang tersulut emosi, tidak paham seni berunjuk rasa, mungkin juga tidak ada korlap, dst, sebagaimana layaknya seni menyampaikan aspirasi. (Jangan lupa, mereka bukan aktivis mahasiswa yang paham soal unjuk rasa.)
Menyalahkan masyarakat, itu juga tidak benar. Karena bertahun-tahun penduduk desa melihat sendiri bagaimana ketertutupan tata kelola Dana Desa. BLT hanya pemicu, substansinya adalah tata kelola Dana Desa yang tidak transparan dan tidak akuntabel dalam praktisnya.
Mari berpikir jernih. Itu juga kegagalan kita bersama yang tidak pernah memberikan pendidikan demokrasi bagi rakyat. Kegagalan semua pranata sosial: lembaga pendidikan, pers, parpol, politisi, mahasiswa, aktivis sosial, dan lain lain. Mana pendidikan politik untuk rakyat..!
Persoalan Dana Desa memang massif. Jangan dianggap sepele, seolah-olah hanya kenyinyiran orang-orang yang sirik saja. Tuduhan-tuduhan seperti itu justru mematikan semangat bersama mereka yang masih visioner. Sama dengan menggrogoti semangat berdemokrasi secara benar, semangat transparansi dan akuntabilitas berpemerintahan desa.
Tragisnya, pasca kasus Mompang Julu, saya melihat orang-orang terbebani, terteror, seolah-olah semua gerakan pemajuan desa dimata-matai oleh aparat. Isu-isu seperti itu entah dari mana sumbernya. Itu membuat ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat yang tidak paham substansi berdemokrasi. Seolah-olah akan ada yang diciduk tengah malam dan seterusnya.
Jika begitu, di mana ruang partisipasi masyarakat untuk ikut bersama memantau tata kelola dana desa? Di mana ruang menyalurkan aspirasi demokrasi mereka, bahwa Dana Desa adalah dana bersama masyarakat yang harus ada jaminan undang-undang agar setiap orang bisa mengawasinya? Jangan menjadi preseden buruk bahwa warga masyarakat harus diam melihat kesemena-menaan tata kelola Dana Desa.
Seolah-olah kalau neraca uang masuk dengan uang keluar sudah berimbang, ada kuitansi, maka selesailah masalah. Itu benar-benar naif. Apalagi anggapan kalau sudah diperiksa Inspektorat dan Dewan Pengawas, maka semua harus diam. Wah, kalau begitu di mana ruang publik untuk melihat transparansi, mana akuntabilitasnya, bahwa setiap warga desa bisa kapan saja melihat semuanya?
Berikanlah makna yang benar atas kata provokasi. Membuka ruang bagi warga negara untuk menyalurkan hak-hak demokrasinya adalah kewajiban setiap orang, bukan hak. Ia menjadi salah kalau didorong untuk anarkis. Substansi seperti itu penting dipahami. (GNP)