Achilles Hukum Kesehatan Indonesia : Membuka Data Pasien Covid-19 tidak Dapat Dipidana

Sebarkan:


MEDAN - Wabah virus corona (Covid-19) terus mengalami peningkatan di Sumatera Utara khususnya Kota Medan. Perkembangannya secara global menjadikan wilayah Sumatera Utara ditetapkan sebagai darurat kesehatan masyarakat.

Penyebaran penyakit mematikan ini disebabkan ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan. Padahal, bagi setiap orang yang tidak patuh terhadap upaya penanggulangan wabah dianggap telah menghalang-halangi dapat pula dipidana.

Menurut Achilles Hukum Kesehatan Indonesia, Dr dr Beni Satria, M Kes, SH, MH(kes) dan co-founder AHLI Dr Redyanto Sidi, SH, MH meminta kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Khususnya Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid -19 agar dapat membuka data pasien virus corona (Covid-19) demi melindungi kepentingan rakyat, sebagaimana asas salus populi suprema lex esto (Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi).

"Membuka data pasien Covid-19 tidak dapat dipidana. Kita meminta agar tenaga medis harus transparan terhadap data nama pasien yang sekarang ini ditangani tanpa meminta persetujuan pasien," ungkap Dr Beni.

Ketransparanan itu, kata Dr Beni, demi kepentingan umum yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1984 (selanjutnya disebut UU Wabah Penyakit Menular) jo Pasal 9 Peraturan Menteri Kesehatan No 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran yang meliputi ancaman kejadian luar biasa atau wabah penyakit menular dan ancaman keselamatan orang lain secara indiviual atau masyarakat kepada institusi atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Dalam ketentuan perundang - undangan, membuka data pasien secara terbuka tidak dapat dijerat pidana," jelasnya didampingi Dr Redyanto.

Dr Beni menjelaskan, pada pasal 6 UU Wabah Penyakit Menular, masyarakat harus berpartisipasi dalam Upaya penanggulangan wabah secara aktif.  

Namun sangat disayangkan, peran serta aktif masyarakat tersebut yang seharusnya diatur dalam peraturan pemerintah belum diterbitkan, sehingga membingungkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, karena data pasien tidak dibuka secara terbuka oleh pihak medis.

"Hal ini jelas menimbulkan keresahan dan bias ditengah masyarakat, bahwa saat ini setiap orang yang sakit batuk, bersin, demam atau telah meninggal dunia cenderung dikaitkan dengan kasus virus corona," pungkas Dr Beni.

Ia menegaskan, persoalan ini tidak boleh dibiarkan dan harus diluruskan, agar memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat luas tanpa terkecuali, karena berdasarkan Pasal 14 jo pasal 5 UU Wabah Penyakit Menular yang menyatakan barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,  dapat diancam pidana penjara.

Lebih lanjut, Dr. Rediyanto Sidi menambahkan, barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah termasuk menutup data pasien virus corona (Covid-19) dapat dianggap menghalang - halangi upaya penanggulangan wabah dan dapat pula dipidana.

Upaya tersebut dapat diduga menghalangi - halangi, termasuk pula upaya penyelidikan epidemiologis yakni pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina seperti pencegahan dan pengebalan serta pemusnahan penyebab penyakit dalam penanganan jenazah akibat wabah tersebut.

"Dalam standar operasional prosedur (SOP) untuk  membuka data Pasien Virus Corona dan aturan teknisnya yang harus dibenahi oleh pihak yang berwenang, agar informasi tersebut dapat tersampaikan dengan baik dan benar kepada masyarakat tanpa melanggar hukum sehingga masyarakat dapat turut berperan aktif dalam melakukan upaya penanggulangan terhadap wabah Clcorona di wilayah masing - masing bersama dengan pemerintah," ungkap Redyanto Sidi.

Dampak dari wabah virus corona, katanya, membuat keadaan sosial masyarakat menjadi gaduh sehingga vox populi menyuarakan salus populi Suprema lex disebut keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi terhadap pemegang kekuasaan melihat epidemi Covid-19 yang semakin tak terbendung di lingkungan masyarakat Indonesia.

"Adagium hukum ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf dan ahli hukum romawi Marcus Tullius Cicero, bahwa harus ada tindakan oleh pemerintah untuk menyelamatkan rakyat dari suatu keadaan tertentu karena hal tersebut adalah hukum yang tertinggi dalam suatu negara, jika mengaitkan dengan konteks cita negara adagium ini ada perwujudan dari tujuan negara," katanya.

Untuk itu, lanjut Redyanto Sidi, pemerintah membuka data berupa informasi, apabila secara medis informasi tersebut layak dibuka khususnya yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), agar masyarakat lainnya dapat terhindar dan melakukan upaya pencegahan sehingga dapat memutus mata rantai penyebaran Covid-19 serta menyelamatkan masyarakat yang belum terinfeksi Covid-19.

Pemerintah harus terbuka dan sebaiknya segera mengkaji  memberlakukan karantina wilayah dan atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, pada website/link Covid-19 tidak hanya memuat data ODP, PDP, Positif yang sembuh tetapi juga sebaiknya mencantumkan berapa korban meninggal dunia oleh ganasnya Virus Covid-19 tersebut.

"Untuk kebaikam bersama agar masyarakat tetap dirumah dengan menerapkan social distancing dan melakukan upaya pencegahan dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat salah satunya rajin melakukan cuci tangan pakai air dan sabun sesering mungkin," tutup Redyanto Sidi. (Mu-1).

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini